REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyerangan terhadap ulama dan kiai belum lama ini kembali terjadi. Penyerangan tersebut menimpa Ketua Majelis Ulama Indonesia Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, KH Affandi Musyafa. Akibat kejadian itu, Ia mendapat luka tusukan senjata tajam sedalam 15 sentimeter dan menjalani operasi di dagu.
Dokter Rumah Sakit Al-Huda Surya mengatakan, kiai dioperasi pada pukul 12.00 WIB pada Jumat (18/2). Saat ini, kondisi kiai cukup stabil. “Kita lakukan operasi di dagu sebelah kanan serta luka di tempat lain,” kata dokter Surya.
Guru Besar Sosiologi UNIB Mohammad Baharun menanggapi kejadian ini. Menurut dia, kasus penyerangan terhadap ulama atau kiai selama dua tahun terakhir kian marak. Hal ini mengingatkan pada fenomena pra Gestapu atau dikenal Gerakan 30 September (G30S/PKI).
“Dimulai menebar Islamofobia dengan isu dikotomi Arab vs Islam. Sebenarnya, yang disasar itu Islam. Anti Arab hanya sasaran antara untuk mencerabut Islam dari akarnya,” kata Mantan Ketua Komisi Hukum MUI Pusat periode 2010-2020 kepada Republika.co.id, Ahad (20/2).
Sejak tahun 1948, pemberontakan PKI dimulai dengan adu domba antar ulama, isu ajaran Islam, dan mendegradasi ulama. Setelah itu, upaya pembunuhan dilakukan seperti yang terjadi akhir-akhir ini. “Saya yakin ini pasti ulah PKI gaya baru yang bangkit kembali karena menemukan inangnya di luar,” ujarnya.
Baharun mengatakan, tidak mustahil adanya kekuatan luar yang mengehendaki untuk menghegemoni negeri, tapi terhalang oleh potensi umat yang kuat. Maka, cara utama yang digunakan menghabisi ulama seraya mendegradasi ajarannya adalah melalui isu-isu yang menyudutkan.
Untuk mengatasinya, dibutuhkan peran dari sejumlah pihak. Misalnya, pihak berwenang tidak membiarkan masalah ini terus berlanjut dengan mengungkapkan dalang di balik penyerangan karena dinilai sudah mengancam keutuhan bangsa.
Selain pihak berwajib, umat Islam juga harus merapatkan barisan terhadap ancaman ini. “Saya berharap ulama dan umara bersatu menjaga persatuan bangsa dari ancaman laten dengan cara melindungi ulama secara serius sebagai mitra atau shadiqul hukumah sehingga tidak lagi terjadi kasus-kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap para kiai atau ulama bangsa dalam menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar,” ucapnya.