REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Hilmar Farid menyebut, permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte kepada Indonesia atas kekerasan ekstrem pada periode 1945-1949, bagian dari penegakan keadilan sejarah atau historical justice. Hilmar menyatakan demikian, karena Pemerintah Belanda kerap menyangkal adanya kekerasan ekstrem selama periode merebut kembali wilayah jajahannya tersebut.
"Permintaan maaf ini adalah penegakan historical justice atau keadilan sejarah. Karena untuk waktu lama, pemerintah Belanda menyangkal adanya kekerasan ekstrem yang struktural sifatnya," ujar Hilmar kepada Republika, Ahad (20/2).
Karena itu, Hilmar menilai, permintaan maaf ini sebagai langkah maju dari pihak Belanda yang mengakui kekejaman pemerintahannya pada masa itu. "Tentu kita menyambut baik permintaan maaf tersebut, jadi ini langkah maju," katanya.
Kendati demikian, Hilmar mengatakan kewenangan untuk merespon secara resmi permintaan maaf itu ada di ranah Kementerian Luar Negeri maupun Sekretariat Negara. Sebab, pernyatan resmi datang langsung dari Perdana Menteri Belanda.
Selain itu, Hilman juga mengatakan, permintaan maaf tersebut tidak akan berpengaruh dengan catatan sejarah kekerasan ekstrem Belanda saat itu. Sebab, sejarah telah mencatat mengenai kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh Belanda.
"Seperti kasus Westerling di Sulawesi Selatan, sudah lama menjadi bagian dari narasi sejarah kita, termasuk di buku-buku pelajaran sejarah di sekolah. Jadi dari segi itu tidak ada yang baru," kata Hilmar.
Kecuali, lanjut Hilmar, terdapat berbagai temuan penelitian dari Belanda yang memperjelas kondisi saat itu. "Kalau ada yang bisa ditambahkan maka itu adalah berbagai temuan dari penelitian oleh pihak Belanda itu yang memperjelas apa yang sesungguhnya terjadi, termasuk data mengenai pasukan dan seterusnya," katanya.
Sebelumnya, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Kamis (17/2/2022) meminta maaf kepada Indonesia atas penggunaan kekerasan oleh militer Belanda selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949. Permintaan maaf itu disampaikan Rutte pada konferensi pers di Brussels, ibu kota Belgia.
Rutte mengatakan, pemerintahnya mengakui seluruh temuan yang dihasilkan sebuah tinjauan sejarah yang sangat penting. Menurut studi tersebut, Belanda melakukan kekerasan secara sistematik, melampaui batas, dan tidak etis dalam upayanya mengambil kembali kendali atas Indonesia, bekas jajahannya, pasca-Perang Dunia II.