REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah untuk membatasi jenis pupuk bersubsidi yang bisa diakses petani hanya pada Urea dan NPK, berpotensi tidak efektif dalam memenuhi kebutuhan petani. Selain itu, rencana ini juga dipandang mengandung bias kebijakan yang cenderung menguntungkan komoditas padi.
“Pembatasan pupuk bersubsidi dapat mendorong petani hanya fokus pada dua jenis pupuk ini. Padahal unsur hara yang dibutuhkan tanaman bisa saja berbeda dan tidak dapat disediakan oleh kedua jenis pupuk bersubsidi tersebut. Hal ini dapat berakibat berkurangnya produktivitas maupun degradasi lahan karena penggunaan pupuk yang tidak seimbang,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta dalam keterangan resminya, Senin (21/2/2022).
Fokus terhadap urea dan NPK juga menunjukkan kecenderungan untuk memprioritaskan kebutuhan pertanian padi sawah. Jika jadi dilakukan, rencana ini berpotensi mengabaikan kebutuhan petani komoditas lain, misalnya perkebunan seperti tebu dan tembakau yang lebih membutuhkan pupuk ZA.
Ia pun menambahkan, pembatasan ini juga berpotensi menimbulkan konsentrasi produksi Urea PIHC pada skema pupuk bersubsidi.
Hal ini dapat mengurangi ketersediaan pasokan Urea untuk perusahaan pupuk swasta di pasar komersial yang mengandalkan urea PIHC, dengan asumsi tidak ada penambahan kapasitas produksi pupuk. Pada waktunya hal ini dapat semakin memperlebar kesenjangan antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi.
Kesenjangan harga pupuk nonsubsidi dan pupuk bersubsidi mengancam produktivitas pertanian nasional. Kenaikan harga terjadi karena harga pupuk mengikuti harga komoditas. Sementara itu, harga pupuk bersubsidi bisa tetap sama karena dijamin oleh HET.
“Hal ini menyebabkan kesenjangan harga yang semakin besar dengan pupuk nonsubsidi dan membuatnya semakin tidak kompetitif,” tambah Aditya.
Seharusnya, kenaikan harga bahan baku pupuk saat ini hanya berdampak pada pupuk nonsubsidi, karena harga pupuk bersubsidi sudah diatur untuk tidak melebihi HET. Jika ada kenaikan biaya bahan baku seperti sekarang yang berdampak pada kenaikan ongkos produksi, akan diselesaikan oleh pemerintah bersama produsen pupuk bersubsidi.
Namun demikian, kesenjangan harga yang sangat lebar antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi menyuburkan peluang untuk menyelewengkan pupuk bersubdisi ke pasar komersial.
Contohnya adalah dengan temuan-temuan terbaru penjualan oleh kios pupuk dengan harga diatas HET dan kepada penerima yang tidak terdaftar di e-RDKK.
Kenaikan harga pupuk nonsubsidi turut mengurangi pilihan input pertanian yang tepat untuk kondisi lahan spesifik yang diusahakan petani.
"Walaupun sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil dengan luas lahan kurang dari 2 ha, pupuk nonsubsidi terkadang digunakan sebagai alternatif jika pupuk bersubsidi tidak tersedia atau untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tertentu," katanya.