Senin 21 Feb 2022 17:48 WIB

Cara Pemerintah Turunkan Angka Kematian, Mendeteksi Dini Pasien Covid dengan Komorbid

Pasien komorbid tercatat rata-rata meninggal lima hari sejak masuk ke dalam rumah sak

Red: Indira Rezkisari
Tim TRC Kota Yogyakarta usai memakamkan jenazah dengan protokol kesehatan Covid-19 di Makam Jati Terban, Yogyakarta, Jumat (18/2/2022). Kasus kematian pasien Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta merangkak naik. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY mulai 9 hingga 17 Februari tercatat ada 19 kematian akibat virus Covid-19. Sepekan sebelumnya hanya ada 4 kematian akibat virus Covid-19.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Tim TRC Kota Yogyakarta usai memakamkan jenazah dengan protokol kesehatan Covid-19 di Makam Jati Terban, Yogyakarta, Jumat (18/2/2022). Kasus kematian pasien Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta merangkak naik. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY mulai 9 hingga 17 Februari tercatat ada 19 kematian akibat virus Covid-19. Sepekan sebelumnya hanya ada 4 kematian akibat virus Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dian Fath Risalah, Dessy Suciati Saputri

Pemerintah memperkuat interkoneksi data dengan BPJS Kesehatan untuk mendeteksi lebih dini pasien terkonfirmasi positif Covid-19 yang memiliki komorbid (penyakit penyerta). Tujuannya agar mereka mendapat penanganan lebih cepat, kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Baca Juga

"Kita sudah melakukan kerja sama dengan BPJS agar semua yang komorbid bisa kita identifikasi lebih dini, jadi walaupun kasusnya ringan, bisa segera langsung masuk 'karpet merah' di rumah sakit-rumah sakit kita," kata Menkes, dalam konferensi pers terkait Hasil Ratas PPKM yang dipantau secara virtual di Jakarta, Senin (21/2/2022).

Menkes menjelaskan bahwa pasien terkonfirmasi positif Covid-19 yang memiliki penyakit penyerta akan mendapatkan perawatan yang lebih cepat sehingga potensi angka kematian tidak bertambah. Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan data BPJS Kesehatan terintegrasi dengan data penambahan kasus di NAR Kementerian Kesehatan.

"Sehingga jika ada penambahan kasus, langsung terdeteksi apakah orang tersebut komorbid atau tidak, dan respons tindakan bisa dilakukan secara cepat," katanya.

Ia menyebutkan bahwa hingga Senin (21/2), tercatat 2.484 pasien meninggal dunia, dengan 73 persen di antaranya belum melakukan vaksinasi dosis lengkap. Kemudian, 53 persen dari pasien yang meninggal dunia adalah lansia dan 46 persen memiliki penyakit penyerta atau komorbid.

Pasien komorbid tercatat rata-rata meninggal lima hari sejak masuk ke dalam rumah sakit. Jenis penyakit penyerta yang diderita pasien umumnya adalah diabetes melitus. Dalam ratas itu,Luhut menyampaikan bahwa Presiden meminta agar risiko kematian terhadap lansia, orang yang belum divaksin dan memiliki komorbid dapat ditekan semaksimal mungkin dengan penanganan yang baik.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengemukakan bahwa kasus kematian akibat Covid-19 merupakan indikasi adanya titik lemah dalam sistem kesehatan. "Satu kematian itu suatu studi yang harus dilakukan mendalam untuk mencari tahu apa titik lemah dari sistem di level masyarakat dan pemerintah," kata Dicky.

"Kita perlu ingat bahwa satu kasus kematian merupakan kontribusi dari banyak kasus infeksi di masyarakat. Setidaknya kalau bicara Delta, 100 kasus infeksi berkontribusi pada satu kasus kematian. Kalau untuk Omicron itu bisa lebih banyak lagi," katanya.

Menurut Dicky, satu kasus kematian akibat Covid-19 menandakan adanya keterlambatan dalam mendeteksi dini penularan penyakit pada masa wabah. Ia menyampaikan adanya keterbatasan dalam upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendeteksi dini kasus penularan Covid-19, antara lain keterbatasan kemampuan melakukan pemeriksaan yang antara lain dipengaruhi oleh jumlah warga yang terinfeksi virus corona namun tidak mengalami gejala sakit.

Orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 namun tidak mengalami gejala sakit bisa terlewat dari pemeriksaan sehingga tidak terdata sebagai penderita Covid-19 dan berisiko menularkan virus kepada orang lain. "Sehingga kasusnya saat ini lebih banyak (dari yang terdata). Dalam penilaian level oleh Organisasi Kesehatan Dunia sebenarnya apa yang ditemukan pemerintah jauh lebih kecil dari yang ada di masyarakat," kata Dicky.

Hasil penelitian Dicky beserta timnya menunjukkan angka kasus Covid-19 sepuluh kali lebih banyak dari temuan pemerintah pada gelombang kedua penularan Covid-19, semasa angka kasus meningkat akibat penularan virus corona varian Delta pada Juli sampai Agustus 2021. Dicky memperkirakan jumlah kasus pada gelombang ketiga penularan Covid-19, saat angka kasus meningkat akibat penularan virus corona varian Omicron, juga lebih banyak dari yang terdata.

"Itu harus jadi pengingat dalam kita mencermati perkembangan data," katanya.

Dia menyampaikan bahwa angka kasus infeksi dan kematian akibat Covid-19 merupakan masukan penting dalam pembuatan kebijakan mengenai pengendalian dan penanggulangan penyakit tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement