REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Sekitar 25 ribu ekor bekantan yang tersebar di lima provinsi di Pulau Kalimantan hingga kawasan Sabah, Malaysia populasinya terancam punah. Mereka terancam punah akibat berbagai aktivitas, terutama akibat pembukaan kawasan pertambangan dan perkebunan.
"Selain karena perburuan, satwa ini menjadi langka karena kerusakan habitat akibat berbagai aktivitas yang tidak ramah lingkungan," ujar peneliti satwa di Balai Penerapan Standar Instrumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Tri Atmoko, Senin (21/2/2022).
Aktivitas yang tidak ramah lingkungan, seperti pertambangan, pembukaan area perkebunan skala luas yang mengubah kawasan hutan menjadi non-hutan sehingga keberadaan satwa endemik ini tertekan dan terancam punah. Jumlah bekantan yang sekitar 25 ribu ekor tersebut sepertinya banyak, namun jika dilihat dari luas Pulau Kalimantan yang mencapai 743.330 kilometer persegi dan terdiri atas berbagai kabupaten/kota, lima provinsi, bahkan hingga Sabah, tentu jumlah ini tergolong kecil.
Ia mengatakan bekantan hidupnya di hutan-hutan dan cenderung di pepohonan di tepi sungai, sedangkan masyarakat di Pulau Kalimantan masih banyak menggunakan jalur transportasi sungai untuk mencapai pedalaman. "Kawasan sungai itu mudah dijangkau oleh masyarakat dalam menggunakan transportasi air, bahkan ada yang membuka hutan melalui jalur sungai sehingga habitat Bekantan menjadi rusak, bahkan banyak yang hilang," ucap Tri.
Satwa endemik Kalimantan lain yang juga terancam punah adalah orang utan. Saat ini populasi orang utan di seluruh Kalimantan sekitar 57 ribu ekor. Sama dengan bekantan, ancaman kepunahan satwa ini juga akibat pembukaan lahan tidak ramah lingkungan dan perburuan.
"Satwa endemik dan langka di Kalimantan yang paling terancam ada dua, yakni orang utan dan bekantan. Status untuk orang utan Kalimantan adalah kritis mengalami kepunahan, sedangkan status bekantan adalah bahaya di ambang kepunahan," katanya.