REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sementara kaum Muslimin bersepakat bahwa boleh hukumnya bagi seorang laki-laki merdeka menikahi empat orang wanita. Namun bagaimana hukumnya apabila laki-laki menikahi lebih dari empat orang wanita? Bagaimana pandangan Islam atas hal ini?
Berbicara hukum mengenai poligami, umat Islam perlu kembali melihat esensi dan tujuan pernikahan itu sendiri. Meski para ulama tidak menentang terjadinya poligami, namun umat Islam tidak boleh menyepelekan dan menggampangkan poligami.
Hal ini karena bisa jadi, menurut beberapa ulama kontemporer, di beberapa kasus dan kondisi yang dialami seseorang, sunnah pernikahan justru adalah monogami.
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan bahwa berdasarkan pendapat Imam Malik diperbolehkan bagi laki-laki menikahi empat orang wanita. Ulama-ulama dari Madzhab Zhahiri pun setuju pada pendapat tersebut.
Sedangkan Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah hanya membolehkan laki-laki menikahi dua orang wanita saja. Menurut Ibnu Qudamah, para ulama bersepakat bahwa seorang budak boleh menikahi dua orang wanita. Namun demikian mereka berbeda pendapat tentang menikahi empat orang wanita.
Kata Imam Ahmad, maksimal dia hanya boleh menikahi dua orang wanita saja. Hal ini juga merupakan pendapat dari Sayyidina Umar, Sayyidina Ali, dan Abdurahman bin Auf RA. Dan pendapat ini jugalah yang dikatakan oleh Atha’, Hasan, As’Syu’bi, Qatadah, At-Stauri, Imam Syafii, dan Imam Abu Hanifah.
Baca juga: Mualaf Edy, Takluknya Sang Misionaris di Hadapan Surat Al Ikhlas
Silang pendapat ini berdasarkan persoalan apakah status budak berpengaruh terhadap penghapusan bilangan tersebut sebagaimana dia berpengaruh bagi penghapusan separuh hukuman hadd yang wajib dijatuhkan atas orang yang berstatus merdeka ketika ia terbukti berbuat zina.
Dijelaskan bahwa perkara ini merupakan perkara mendapatkan kenikmatan dan kesenangan, sehingga harus sama antara orang yang berstatus merdeka dengan orang yang berstatus budak. Hal ini disamakan sebagaimana menikmati makanan menurut Ibnu Rusyd.