REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO - Jepang kemungkinan akan bergabung dengan Amerika Serikat (AS) dalam menjatuhkan sanksi terhadap Rusia, termasuk larangan ekspor chip dan teknologi utama lainnya jika Presiden Vladimir Putin memerintahkan serangan kepada Ukraina. Demikian dilaporkan menurut laporan surat kabar Yomiuri, Selasa (22/2/2022).
Keputusan yang diambil oleh ekonomi nomor tiga dunia itu untuk bergabung dengan sekutu AS dan negara-negara industri G7 dalam mengancam sanksi ekonomi terjadi saat krisis di Eropa semakin terpuruk. Sementara itu, pemimpin Rusia pada Senin (21/2/2022) memerintahkan pasukan masuk ke dalam wilayah yang memisahkan diri dari Ukraina Timur yang saat ini Rusia akui sebagai negara-negara merdeka.
Yomiuri menyebut larangan ekspor teknologi Jepang dipertimbangkan akan lebih luas daripada larangan yang diberlakukan terhadap Rusia pada 2014 setelah negara itu mencaplok Krimea. Jepang juga mempertimbangkan pembatasan yang lebih ketat terhadap bank-bank Rusia, imbuh surat kabar itu.
Kementerian-kementerian pemerintahan belum menanggapi terkait hal itu. Jepang di masa lalu sudah menempuh pendekatan diplomatik yang lebih halus kepada Rusia ketimbang AS. Para pemimpin Jepang terus-menerus merayu Putin dalam upaya mengamankan kembalinya pulau-pulau yang diduduki oleh angkatan Rusia pada akhir Perang Dunia II.
Jepang yang miskin energi juga membeli gas dari negara tetangganya itu. Namun, baru-baru ini pemerintah Jepang menjadi khawatir akan kebangkitan kembali aktivitas militer Rusia di Asia Timur dan kerja sama keamanan Rusia yang kian dalam dengan tetangganya, China.
Kendati Jepang bukan lagi pengekspor utama semikonduktor, dengan hanya 10 persen pangsa di pasar chip global, negara itu merupakan produsen utama komponen elektronik khusus, seperti chip otomotif dan sensor gambar. Jepang juga mendominasi bidang industri lainnya seperti peralatan manufaktur berteknologi tinggi.