Selasa 22 Feb 2022 15:01 WIB

Bahaya Covid-19 pada Masa New Normal akan Sama dengan Kasus Merokok

Kasus kematian Covid-19 di masa 'New Normal' akan sama dengan merokok.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Nora Azizah
Kasus kematian Covid-19 di masa 'New Normal' akan sama dengan merokok.
Foto: AP
Kasus kematian Covid-19 di masa 'New Normal' akan sama dengan merokok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa negara, seperti Denmark dan Swedia, sudah menyatakan pandemi berakhir, dan mulai hidup berdampingan dengan virus Covid-19. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak juga pakar yang berpikiran serupa dan mengatakan Covid-19 akan berakhir seperti flu.

Seperti tiga pakar kesehatan masyarakat terkemuka di Amerika Serikat, meminta pemerintah untuk mengakui new normal di mana SARS-CoV-2 adalah salah satu dari beberapa virus pernapasan yang beredar. Termasuk seperti influenza, virus pernapasan syncytial (RSV), dan banyak lagi.

Baca Juga

Bagaimanapun juga, kedua penyakit itu disebabkan oleh virus pernapasan berbahaya yang surut dan mengalir dalam siklus musiman. Dokter Spesialis Laboratorium Pengobatan, Dr Benjamin Mazer, mengusulkan metafora yang berbeda.

“New normal akan tiba saatnya ketika kita mengakui bahwa risiko Covid terasa lebih sejalan dikatakan sama dengan risiko merokok dan banyak kematian akibat Covid, sama seperti banyak kematian akibat merokok, dan keduanya dapat dicegah dengan intervensi tunggal,” ucap Dr Mazer, dilansir dari The Atlantic, Selasa (22/2/2022).

Sumber bahaya terbesar pandemi telah berubah, dari patogen menjadi perilaku. Saat ini, memilih untuk tidak divaksinasi Covid, merupakan risiko kesehatan yang dapat dimodifikasi setara dengan orang merokok, yang membunuh lebih dari 400 ribu orang setiap tahun di Amerika Serikat.

Presiden Joe Biden mengatakan pada Januari lalu, ini akan terus menjadi pandemi bagi mereka yang tidak divaksinasi, dan penangguhan vaksin akan memperpanjang krisis pandemi. Data menunjukkan bahwa sebagian besar yang tidak divaksinasi memegang status itu secara sukarela pada saat ini.

Argumen yang sama berlaku untuk tembakau, para perokok berisiko 15 sampai 30 kali lebih mungkin terkena kanker paru-paru. Berhenti dari kebiasaan itu sama dengan menerima obat yang sangat ampuh, obat yang menghapus sebagian besar risiko berlebih ini.

Namun para perokok ini, seperti mereka yang sekarang menolak vaksin. Bahkan dalam jumlah absolut, populasi Amerika yang tidak divaksinasi dan perokok saat ini tampaknya cukup cocok. Saat ini, CDC mencatat masing-masing 13 persen dan 14 persen dari semua orang dewasa AS, dan kedua kelompok ini cenderung masuk kalangan miskin dan kurang berpendidikan.

Di sinilah new normal Covid mungkin menyerupai pertempuran selama beberapa dekade dengan tembakau. Mari kita berharap untuk mereka yang belum divaksinasi, agar segera melakukan vaksinasi, dan mereka bisa membantu membuat kemajuan perlahan.

“Tapi ada jalan tengah. Kita tidak melarang tembakau secara langsung, tetapi kita telah memulai kampanye permanen di seluruh masyarakat untuk mendisinsentifkan penggunaannya. Tindakan jangka panjang untuk Covid mungkin termasuk membebankan premi pada asuransi kesehatan mereka yang tidak divaksinasi, seperti yang kita lakukan untuk perokok,” papar Dr Mazer.

Namun, membandingkan resistensi vaksin dan merokok, tampaknya telah mengabaikan perbedaan yang jelas dan penting bahwa Covid adalah penyakit menular dan merokok tidak. 

Banyak pembatasan pandemi didasarkan pada gagasan bahwa perilaku setiap individu, dapat menimbulkan risiko kesehatan langsung bagi orang lain. Orang yang divaksinasi tidak hanya melindungi diri mereka dari, tapi juga mengurangi risiko menularkan penyakit kepada orang-orang di sekitar mereka.

Tetapi bahaya tembakau juga dapat ditularkan dari perokok ke rekan-rekan mereka. Menghirup asap rokok menyebabkan lebih dari 41 ribu kematian setiap tahun di AS (tingkat kematian yang lebih tinggi daripada beberapa musim flu). Namun terlepas dari risiko merokok, banyak negara bagian tidak sepenuhnya melarang merokok di tempat umum.

Covid kemungkinan akan tetap menjadi pembunuh utama untuk sementara waktu, dan beberapa akademisi menyebutkan bahwa pandemi berakhir hanya ketika masyarakat berhenti peduli. Tetapi kita tidak boleh melupakan alasan terpenting bahwa virus corona tidak seperti flu.

“Kami belum pernah memiliki vaksin yang seefektif ini di tengah wabah influenza sebelumnya, yang berarti kami tidak memiliki pendekatan yang sederhana dan jelas untuk menyelamatkan cukup banyak nyawa. Sekarang bukan waktunya untuk berhenti,” ucap Dr Mazer.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement