REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menolak tegas seluruh isi Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang JHT. Buruh di DIY juga meminta Permenaker yang diterbitkan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah untuk dicabut.
Juru Bicara MPBI DIY, Irsad Ade Irawan mengatakan, Jaminan Hari Tua merupakan hak mutlak dari pekerja atau buruh. Sebab, JHT dikumpulkan dari upah mereka. Maka itu, pemerintah jelas-jelas tidak memiliki hak untuk menahan dana tersebut.
Ia menuturkan, jika pemerintah ingin melakukan itu, pemerintah harus membuat skema perlindungan tersendiri. Menggunakan dana pemerintah melalui skema bantuan sosial dengan syarat-syarat tertentu sepanjang tidak diskriminatif dan menunjung HAM.
Irsad menekankan, dalih pemerintah jika pekerja/buruh yang kehilangan pekerjaan akan terlindungi dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) omong kosong belaka. Sebab, JKP hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Padahal, pemerintah telah memperluas sistem kontrak dan outsourcing dalam UU Nomor 18 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di mana pekerja/buruh yang telah habis kontrak, mengundurkan diri, dipaksa mengundurkan diri, pensiun dini dan tidak mendapat JKP.
Selama ini, lanjut Irsad, JHT telah diandalkan pekerja/buruh jika kehilangan pekerjaan. Dana digunakan untuk menopang hidup keluarganya dengan cara membuka lapangan usaha dan kegiatan-kegiatan ekonomi produktif, terutama selama pandemi.
"Sehingga, Permanaker Jahat ini dengan jelas mengancam kehidupan keluarga pekerja/buruh di tengah pandemi Covid-19 yang tidak kunjung selesai dan
rentan terjadinya PHK maupun pemutusan kontrak," kata Irsad, Selasa (22/2/2022).
Maka itu, tidak ada lagi yang dapat disimpulkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Jaminan Hari Tua ini merupakan satu logical fallacy. Pemerintah nampak seperti tidak pernah puas merugikan pekerja/buruh dan berpihak pada pengusaha.
Irsad turut mengingatkan, data Badan Pusat Statistik (BPS), dari sekitar 15 juta orang yang kehilangan pekerjaan pada 2020, hanya 13,13 persen korban PHK. Sebanyak 14,35 persen habis kontrak dan sisanya berhenti bekerja karena berbagai alasan.
Dengan perluasan penggunaan sistem kontrak dan outsourcing pasca disahkannya UU Cipta Kerja, dapat dipahami kasus pekerja/buruh kehilangan pekerjaan PHK lebih sedikit. Bila dibanding dengan faktor habis kontrak dan berbagai faktor lainnya.
Baca juga : Aspek Ingatkan Menaker Jangan Main-Main Atas Instruksi Jokowi Revisi Permenaker JHT
Jika syarat-syarat pencairan JHT tidak direvisi, maka Permenaker itu bukan solusi dan sama sekali tidak menemukan relevansi. DIY, sebagai provinsi istimewa perlu terobosan membuat sistem jaminan sosial daerah dan badan penyelenggara jamsosda.
"Jamsosda sifatnya melengkapi dan memperluas fasilitas layanan yang sudah ada dan mempermudah akses jaminan sosial. Jamsosda sekurang-kurangnya terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan dan jaminan hidup istimewa," ujar Irsad.
Jaminan ketenagakerjaan sekurang-kurangnya meliputi JKP, JHT, jaminan pensiun, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian. Jaminan hidup istimewa sekurang-kurangnya meliputi jaminan makan, jaminan perumahan dan jaminan perguruan tinggi.
Pembiayaan jamsosda dianggarkan dari APBN, APBD dan Dana Keistimewaan tanpa ada pungutan/iuran ke masyarakat. Kesimpulannya, MPBI DIY menuntut cabut Permenaker 2/2022 tentang JHT, cabut UU Cipta kerja, naikkan upah pekerja/buruh 75 persen.
"Gunakan Dana Keistimewaan untuk jaminan hari tua pekerja/buruh dan atau bantuan sosial untuk pekerja/buruh lansia. Bentuk Perda yang lebih maju tentang jaminan sosial daerah dan badan penyelenggaran jaminan sosial daerah," kata Irsad.
Baca juga : BPJS Kesehatan Jadi Syarat Administrasi, Politikus PDIP: Jangan Memberatkan