ISTANBUL -- Pengadilan tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin (21/2/2022) melanjutkan sidang kasus genosida Rohingya di Den Haag terhadap otoritas Myanmar di mana rezim junta mewakili negara Asia Tenggara itu.
Myanmar, yang dituduh melakukan genosida terhadap komunitas Rohingya, mengajukan keberatannya di hadapan hakim di Mahkamah Internasional (ICJ).
ICJ telah mengadili kasus yang dibawa oleh Gambia pada November 2019, menuduh Myanmar melanggar Konvensi Genosida dalam tindakan brutalnya terhadap komunitas Rohingya.
Namun, menyusul kudeta militer yang mematikan di Myanmar tahun lalu pada bulan Februari, para aktivis telah menyatakan keprihatinan apakah sidang ICJ oleh rezim junta akan memberikannya legitimasi.
Hingga 27 Februari, selama empat hari, hakim ICJ akan mendengarkan keberatan pemerintah junta terhadap tuntutan pengadilan.
Hakim ketua Joan Donoghue mengatakan kepada pengadilan bahwa para pihak dalam kasus-kasus di depan pengadilan “adalah negara bagian, bukan pemerintah tertentu.”
Ko Ko Hlaing, menteri kerja sama internasional rezim junta, mengatakan “pemerintah militer ingin bekerja sama dengan para hakim.”
“Dalam berargumen bahwa pengadilan tidak memiliki yurisdiksi atau bahwa kasus tersebut tidak dapat diterima, oleh karena itu Myanmar tidak berusaha menghalangi proses peradilan pengadilan. Sebaliknya itu berusaha untuk menjawab administrasi peradilan yang tepat. Myanmar mengajukan keberatan awal ini dengan hormat ke pengadilan,” ujar dia.
Puluhan ribu orang Rohingya terbunuh dan ribuan perempuan dan anak perempuan diperkosa ketika pasukan Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap komunitas minoritas Muslim di negara bagian Rakhine pada Agustus 2017.
Lebih dari 1,2 juta Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang yang paling teraniaya di dunia, terpaksa meninggalkan Myanmar dan terus tinggal di kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Kemajuan kasus yang diajukan oleh Gambia terhadap Myanmar karena melanggar Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida berjalan lambat.
Pada Januari 2020, ICJ memberlakukan “tindakan sementara”, memerintahkan diakhirinya praktik genosida terhadap Rohingya.
Myanmar sebelumnya diwakili dalam kasus ini oleh mantan Anggota Dewan Negara Aung San Suu Kyi, yang digulingkan dalam kudeta dan telah dipenjara oleh junta dengan berbagai tuduhan.
Pengambilalihan militer telah memicu protes massal di Myanmar, di mana pasukan junta telah membunuh lebih dari 1.500 orang dalam tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok pemantau lokal.