REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Arsul Sani mendukung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung atas vonis terhadap Herry Wirawan. Herry divonis hukuman penjara seumur hidup dan lolos dari jerat denda restitusi yang justru dibayarkan oleh negara.
Arsul menekankan, putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim semestinya dihormati. Hanya saja, putusan ini belum inkrah. Sehingga, menurutnya, wajar bila jalur banding diambil guna memperoleh keadilan bagi para korban.
"Saya sepakat melakukan upaya banding (vonis Herry) karena paling tidak kita ingin mengembangkan perspektif lebih jelas dan untuk rasa keadilan," kata Arsul dalam diskusi yang digelar oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Rabu (23/2).
Herry Wirawan sebenarnya dituntut hukuman mati, kebiri, dan membayar restitusi senilai Rp 331 juta kepada para korban. Namun, Arsul mengamati, hakim urung mengabulkan tuntutan tersebut karena berpegangan dengan pasal 67 KUHAP. Pasal tersebut memuat terdakwa yang sudah divonis seumur hidup tidak boleh dijatuhkan hukuman pidana lain, kecuali pencabutan hak-hak tertentu.
"Putusan pengadilan harus dihormati, namun sebagian kalangan merasa terusik rasa keadilannya. Sehingga ruang diskusi tentang kompensasi dan restitusi perlu dibuka seluas-luasnya," ujar Arsul yang juga anggota komisi III itu.
Arsul juga memandang, Herry sebenarnya bisa melunasi restitusi yang dibebankan oleh hakim. Sehingga, dia merasa heran mengapa hakim mewajibkan pembayaran restitusi kepada Negara.
"Putusan pengadilan seakan mengonversi restitusi (tanggungjawab pelaku) menjadi kompensasi (tanggungjawab Negara). Padahal dari asesmen LPSK, harta kekayaan Herry dapat menutupi jumlah ganti rugi itu," ucap Arsul.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 15 Februari 2022 memvonis Herry Wirawan dengan hukuman penjara seumur hidup. Hakim juga memberi putusan restitusi terhadap para korban yang mesti dibayarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) selaku perwakilan Negara dalam kesejahteraan dan perlindungan anak.
Dalam kasus ini, Herry Wirawan terbukti bersalah berdasarkan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.