Rabu 23 Feb 2022 15:38 WIB

Tim Advokasi Jurkani Nilai Ada Kejanggalan dalam Vonis Dua Pelaku Pembunuhan

Pelaku dijerat pasal kekerasan, padahal menurut tim advokasi, Jurkani tewas dibunuh.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Anggota Tim Advokasi Jurkani, Denny Indrayana.
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Anggota Tim Advokasi Jurkani, Denny Indrayana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi menilai ada kejanggalan dalam penyelesaian kasus pembunuhan aktivis anti tambang ilegal, Jurkani. Tim Advokasi menilai hukuman terhadap Yurdiansyah dan Nasrullah masing-masing 10 tahun dan 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Batulicin, Kalimantan Selatan (Kalsel) masih pantas dipertanyakan. 

Anggota Tim Advokasi Jurkani, Denny Indrayana, merasa pesimis kasus ini ditangani dengan itikad mengungkapkan kebenaran. Hal itu menurutnya dilihat dari konstruksi fakta dan hukum yang dibangun sejak pada tahap penyelidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, bahkan putusan oleh pengadilan.

Baca Juga

Yurdiansyah dan Nasrullah dinyatakan bersalah melakukan kekerasan bersama-sama yang menyebabkan seseorang meninggal dunia. Keduanya dijerat Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP. Vonis dijatuhkan Majelis Hakim dalam sidang pada Senin lalu.

"Konstruksi yang dibangun mengarahkan ke tindak pidana kekerasan sehingga menyebabkan kematian. Padahal faktanya pembacokan dilakukan akibat Jurkani melawan tambang ilegal, seharusnya pasal yang dijerat adalah pembunuhan. Bahkan pembunuhan berencana," kata Denny dalam keterangan yang dikutip pada Rabu (23/2/2022). 

Denny mengingatkan bahwa kasus pembunuhan Jurkani telah menyita perhatian publik secara nasional. Hal ini karena Jurkani adalah advokat yang sedang menjalankan tugas untuk mengusir kegiatan penambangan ilegal. 

"Jurkani harus tewas secara mengenaskan di tangan para pelaku tambang ilegal tersebut," ujar Denny. 

Denny mengungkapkan publik sudah geram atas penanganan kasus Jurkani. Ia mendesak pengungkapan aktor intelektual kasus ini secara terang benderang.  

"Sayangnya kinerja aparat tidak menunjukkan demikian. Negara harus berani bertindak untuk memberantas para penambang ilegal sampai ke oknum-oknum yang memeliharanya," ucap Denny. 

Selain itu, anggota Tim Advokasi Jurkani lainnya, Raziv Barokah, memandang aparat penegak hukum mendapat tantangan dari publik untuk menjerat para aktor intelektual di balik kasus pembunuhan ini. Ia menyayangkan karena hingga saat ini hanya dua orang yang diproses hukum. 

"Padahal dari video dan keterangan saksi di lapangan menjelaskan pelaku berjumlah puluhan orang," ucap Raziv. 

Raziv menyebut cuma ada dua pelaku yang masih buron berdasarkan penyelidikan kepolisian. Padahal jika bersandar pada keterangan para saksi dan video sebelum kejadian, terdapat puluhan orang yang mencegat korban. 

"Ini harus segera dikejar...Wajah-wajahnya terlihat jelas dalam video. Seharusnya tidak sulit untuk diungkap dan memburu aktor intelektualnya. Sayangnya itu tidak dilakukan," tegas Raziv. 

Sebelumnya, Raziv mengatakan kasus tersebut bermula saat Jurkani berupaya mengadvokasi tambang ilegal batu bara di Kalsel yang diduga dikuasai oleh oligarki. Dari proses hukum yang sedang berlangsung di Polres setempat, pelaku mengaku adanya kesalahpahaman sehingga terjadi pembacokan terhadap korban.

"Kami ingin sampaikan bahwa dalil tersebut tidak logis dan tidak benar," kata Raziv.

Raziv menyebut korban dicegat setelah menemukan adanya alat berat di lokasi tambang ilegal. Ketika di perjalanan, mobil yang dikendarai korban dihadang oleh sejumlah orang dan terjadilah penganiayaan yang berujung pada kematian. Ia mengungkapkan terdapat sekitar 20 hingga 30 orang yang mengepung Jurkani. Namun, hanya dua orang yang mengeksekusi.

Jurkani adalah seorabg advokat yang kehilangan nyawa ketika mengadvokasi penambangan ilegal di wilayah Tanah Bambu, Kalsel. Peristiwa penyerangan terhadap Jurkani terjadi pada tanggal 22 Oktober 2021. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement