Rabu 23 Feb 2022 19:54 WIB

Pelapor Korupsi Jadi Tersangka, ICW: Masyarakat akan Selalu Merasa Terancam

ICW menyebut kasus seperti Nurhayati bukan kali pertama terjadi.

Rep: Amri Amrullah, Lilis Sri Handayani/ Red: Andri Saubani
Peneliti Iindonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengkritisi pelapor kasus korupsi di Cirebon justru menjadi tersangka.
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti Iindonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengkritisi pelapor kasus korupsi di Cirebon justru menjadi tersangka.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti kasus Nurhayati, seorang pelapor kasus korupsi yang justru ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat hukum. Kasus ini menjadi sorotan karena upaya masyarakat memberantas korupsi justru berbalik menjadi pentersangkaan.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menilai upaya perlindungan terhadap pelapor tindak pidana korupsi harus menjadi perhatian publik. Sebab, pemolisian Nurhayati ini akan menjadi preseden buruk bagi peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Baca Juga

Penetapan tersangka pelapor kasus korupsi ini mencuat pada akhir 2021, Nurhayati yang juga bendahara Keuangan di Desa Citemu, Cirebon, Jawa Barat ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor (Polres) Cirebon. Anehnya penetapan tersangka ini setelah dirinya melaporkan dugaan tindak pidana korupsi Dana Desa tahun anggaran 2018-2020 yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu.

Kurnia menyebut, model kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi. Pada akhir 2020 lalu, seorang mahasiswa di Universitas Negeri Semarang juga menerima skorsing selama 6 bulan setelah melaporkan rektor kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Kejadian ini sungguh sangat disayangkan, sebab, ke depan masyarakat akan selalu merasa dalam ancaman ketika ingin melaporkan dugaan tindak pidana korupsi ke aparat penegak hukum," kata Kurnia, Rabu (23/2/2022).

Sebagaimana diketahui, peran serta masyarakat dalam melaporkan dugaan korupsi telah dilindungi sejumlah peraturan perundang-undangan. Masyarakat memiliki hak untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara.

Hal ini dilakukan agar memastikan penyelenggaran negara dapat berjalan bersih dan bebas dari korupsi. Setidaknya terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang menjamin peran serta masyarakat melindungi pelapor kasus korupsi.

Antara lain, jelas dia, Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), Pasal 41 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Adanya tiga regulasi di atas setidaknya menunjukkan bahwa negara menjamin keamanan masyarakat ketika melapor kasus korupsi," jelas dia.

Merujuk pada persoalan tersebut dan kaitannya dengan penetapan tersangka terhadap Nurhayati, Kurnia mengatakan, ada sejumlah isu yang perlu dicermati. Pertama, pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporannya.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU PSK menegaskan bahwa jika ada tuntutan hukum terhadap pelapor atas laporannya tersebut, maka tuntutan hukum itu wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan telah diputus oleh Pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap.

"Atas dasar ini, seharusnya Polres Cirebon tidak kemudian gegabah dalam mengambil langkah untuk menetapkan Nurhayati sebagai tersangka atas inisiatifnya melaporkan dugaan korupsi," imbuhnya.

Kedua, pemberangusan peran serta masyarakat berpotensi besar melanggengkan praktik korupsi. Dalam konteks korupsi dana desa misalnya, berdasarkan catatan Tren Penindakan Korupsi ICW Semester I Tahun 2021, sektor dana desa paling rawan dikorupsi dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 35,7 miliar.

 

 

photo
Karikatur opini: Nasib Pelapor Korupsi 2022 - (republika/daan yahya)

 

Hal ini sejalan dengan data yang menyatakan bahwa lembaga yang paling sering ditangani oleh aparat penegak hukum adalah pemerintahan desa. Selain itu, aparatur desa juga masuk dalam 10 besar aktor paling banyak terjerat kasus korupsi.

"Atas kondisi buram ini, bukan tidak mungkin sektor dana desa akan semakin menjadi ladang basah korupsi," tegas Kurnia.

Maka dari itu, melihat beberapa catatan tersebut, ICW turut mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengambil langkah dalam memberikan perlindungan kepada Nurhayati. Ini sebagai bentuk untuk mendukung upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia.

Sebab, mengacu konsideran UU PSK, untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli. "Jadi, LPSK harus pro aktif mendampingi Nurhayati," terangnya.

ICW juga berharap KPK segera menyelesaikan sengkarut koordinasi antara Kejaksaan Negeri Cirebon dan Polres Cirebon dengan cara melakukan koordinasi dan supervisi. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar.

Kurnia mengingatkan pada 2020 lalu, Presiden Jokowi telah mengeluarkan PerPres 102/2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam PerPres tersebut memuat kewenangan lembaga anti-rasuah tersebut untuk mengawasi proses penanganan perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.

Kewenangan itu secara jelas dituangkan dalam Pasal 6 ayat (1) PerPres 102/2020. Bahkan kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi juga sudah diatur dalam Pasal 6 juncto Pasal 8 huruf a UU No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Merespons kasus Nurhayati, Kapolres Cirebon Kota, AKBP M Fahri Siregar, sebelumnya menjelaskan, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, kepolisian tidak bertindak sendirian. Namun, ada juga kejaksaan untuk melakukan penuntutan dan pengadilan serta lembaga yang lainnya.

"Penetapan status Nurhayati menjadi tersangka sudah memenuhi kaidah hukum yang berlaku, dan atas masukan dari JPU (jaksa penuntut umum) Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon," kata Fahri, Sabtu (19/2/2022) lalu.

Fahri menerangkan, awalnya, berkas tersangka atas nama Kuwu Desa Citemu, S, dinyatakan tidak lengkap atau P19 oleh pihak kejaksaan. Karena itu, berkas tersebut dikembalikan ke penyidik.

"Dengan petunjuk-petunjuk yang diarahkan JPU untuk tahapan selanjutnya, yang dituangkan di berita acara koordinasi dan konsultasi, di mana petunjuknya agar Nurhayati dilakukan pemeriksaan secara mendalam," tukas Fahri.

Fahri menyatakan, penyidik mempunyai kewajiban untuk melengkapi berkas tersebut, sebagaimana petunjuk yang sudah diarahkan oleh JPU. Penyidik pun memiliki kewajiban untuk melengkapi berkas paling lama 14 hari dari tanggal penerimaan berkas.

"Penetapan status tersangka karena peran Nurhayati dianggap membantu dengan ikut serta menyalurkan anggaran desa kepada Supriyadi (kuwu Citemu)," terang Fahri.

Fahri mengklaim, penetapan Nurhayati sebagai tersangka sudah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Walaupun Nurhayati kooperatif dalam memberikan keterangan kepada penyidik, Fahri melanjutkan, tindakan yang dilakukan Nurhayati masuk dalam rangkaian tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh S.

"Terungkap bahwa Nurhayati ikut berperan menyalurkan anggaran ke Kuwu Desa Citemu yakni Supriyadi," terang Fahri.

 

photo
Potensi korupsi tinggi di tengah pandemi - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement