REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Yogi Prawira mengemukakan, kelompok anak dengan penyakit penyerta (komorbid) memiliki risiko keparahan sakit hingga 14 persen lebih berat bila terpapar COVID-19. "Sebab kelompok anak memiliki saluran napas yang lebih kecil dari dewasa. Sementara varian Omicron menyasar saluran napas atas," katanya dalam diskusi yang diselenggarakan Radio Kesehatan Kemenkes yang diikuti dari Instagram di Jakarta, Rabu (23/2/2022).
Ia mengatakan, hasil diagnosa pada pasien anak terpapar COVID-19 umumnya mengeluhkan peradangan di jalur pernapasan. Upaya untuk mencegah anak mengalami kondisi kritis akibat tertular COVID-19, katanya, perlu dilakukan observasi terhadap kemungkinan komorbidyang bisa memicu gejala lebih berat.
"Yang perlu kita lihat anak sampai kondisi kritis ini punya komorbid atau tidak, kalau punya komorbid maka memang sesuai risiko perburukan gejala bisa sampai 14 persen dari anak tanpa komorbid, itu kalau satu komorbid," katanya.
Terkait pemberian vaksinasi dosis penguat atau booster pada anak usia 12 tahun ke atas, ia menilai hal tersebut belum perlu dilakukan saat ini. "Untuk booster pada anak, baiknya setelah dewasa dinyatakan aman, baru direkomendasikan untuk anak 12 tahun ke atas. Sekarang belum. Kita tunggu dulu penelitian. Kalau aman akan dimulai dari remaja dulu," katanya.
Ia mengatakan, definisi dari pemberian dosis penguat adalah vaksin yang diberikan setelah dosis lengkap primer selesai. Tujuannya, kata dia, untuk meningkatkan antibodi yang menurun karena vaksin primer mengalami penurunan antibodi setelah tiga hingga lima bulan.
"Pada saat itulah dibutuhkan booster," kata Yogi Prawira.
Sebelumnya dalam agenda konferensi pers yang berlangsung Selasa (22/2), Juru Bicara Kemenkes drSiti Nadia Tarmizi mengatakan risiko kematian pada anak akibat COVID-19 dipengaruhi komorbid. "Secara pasti data mengenai 3 persen balita 0 sampai 5 tahun yang meninggal dunia akibat COVID-19 kita tidak ada data yang lebih informatif," katanya.
Namun yang pasti, kata Nadia, kematian pada balita umumnya dipengaruhi penyakit bawaan seperti kelainan jantung atau kelainan umum seperti kanker darah. Karakteristik Omicron yang cenderung cepat menular dan tanpa gejala juga berisiko dibawa keluarga hingga menular pada anak.