REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengkhawatirkan dampak vonis Herry Wirawan terhadap upaya pemberantasan predator seksual anak. Herry selamat dari hukuman mati dan kebiri serta lolos dari jerat denda restitusi yang malah wajib dilunasi negara.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar, menekankan perlunya penjatuhan hukuman seberat-beratnya terhadap Herry. Menurutnya, bila hakim mengabulkan semua tuntutan sebenarnya sudah berdampak positif terhadap pencegahan munculnya predator anak di kemudian hari.
"Saya dukung efek jera ke pelaku, bila lihat putusan ini mana mungkin calon predator (anak) takut kalau tahu ini (restitusi) dibayarkan negara. (Predator anak) mikirnya dia lakukan itu nanti ada yang beresin. Ini harus diperhatikan," kata Nahar dalam diskusi yang digelar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Rabu (23/2/2022).
Oleh karena itu, Nahar menyatakan Kementerian PPPA mendukung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung atas vonis terhadap Herry. Hal ini guna memperoleh rasa keadilan bagi para korban.
"Dengan putusan itu, prinsipnya kami hormati putusan hakim tapi karena ada catatan maka kami dorong JPU banding seperti sudah dilakukan pada Selasa (22/2/2022)," ujar Nahar.
Terkait banding tersebut, Nahar mengatakan tetap ada kemungkinan diterima. Ia meminta pihak kejati Jabar memperhatikan konsesi mengenai restitusi agar bisa dieksekusi. "Kita antisipasi bahwa ketika ini dilaksanakan kemudian tidak bisa dieksekusi lagi-lagi korban yang akan menerima dan hal ini yang harus kita antisipasi," sebut Nahar.
Namun bila banding itu ditolak, maka ia mengimbau semua pihak menghormatinya. Hanya saja, ia menyindir penolakan banding sama saja menghilangkan efek jera Herry.
"Kalau seandainya bandingnya tidak diterima, maka ini juga ada aturan-aturan yang harus kita patuhi. Setiap putusan hakim kan harus dilaksanakan, kemudian harus dipertimbangkan bahwa ini berpotensi menghilangkan efek jera," ungkap Nahar.
Di sisi lain, Nahar mengakui perbedaan pendapat soal restitusi yang dibayarkan negara dalam kasus Herry. Namun menurutnya, semua pihak mesti fokus memenuhi hak korban.
"Di luar perdebatan restitusi, hak korban harus diperjuangkan. Karena ini untuk kepentingan korban. Saya dukung korban dapat restitusi," ucap Nahar.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 15 Februari 2022 memvonis Herry Wirawan dengan hukuman penjara seumur hidup. Hakim juga menjatuhkan putusan restitusi terhadap para korban yang mesti dibayarkan Kementerian PPPA selaku perwakilan Negara dalam kesejahteraan dan perlindungan anak.
Dalam kasus ini, Herry Wirawan terbukti bersalah berdasarkan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.