Kamis 24 Feb 2022 12:00 WIB

Pemilu 2024 Ditunda, Dosen Paramadina: Cak Imin Akomodasi Pengusaha Kekuatan Oligarki

Elektabilitas rendah, usulan Cak Imin adalah buying time strategy.

Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D.
Foto: Dok Parmad
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar alias Cak Imin mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 diundur. Dosen Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menyebut, argumen Cak Imin yang mengusulkan pengunduran Pemilu 2024 sangat klise dan syarat kalkulasi kepentingan politik.

"Jika argumen pemulihan ekonomi konsisten dilakukan, kenapa pemerintah memaksakan pelaksaan Pilkada 2020 lalu di tengah ketidakpastian pandemi dan ketiadaan vaksin pada saat itu?" kata Umam kepada Republika.co.id di Jakarta, Kamis (24/2/2022).

Baca Juga

Dia menilai, usulan Cak Imin yang mengaku mendapatkan masukan pengusaha itu besar kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, terbatasnya pendanaan politik dari sektor swasta yang saat ini masih terdampak pandemi. "Karena political funds dari sektor privat seret, maka satu-satunya opsi pengumpulan dana politik oleh partai-partai di lingkaran pemerintah adalah lewat public funds, salah satunya dari APBN," ucap Umam.

Akibatnya, sambung dia, di tengah ekonomi yang tertekan akibat pandemi, proyek pengadaan yang tidak substansial dan bukan prioritas kebutuhan rakyat bermunculan, seperti pengadaan alat utama sistem senjata (alutsisa) hingga proyek ibu kota negara (IKN) di tengah ekonomi negara yang sedang tidak sehat.

Menurut Umam, jelas pemerintah kehilangan arah dalam menentukan prioritas pembangunan nasional. Saat ekonomi kelas menengah bawah tertekan akibat pandemi, kata dia, kualitas pendidikan dan kesehatan rakyat terdegradasi, justru proyek IKN yang menelan biaya ratusan triliun dimunculkan.

"Mengapa skema pencairan dana jaminan hari tua (JHT) di usia 56 tahun dikeluarkan? Mengapa syarat BPJS dimasukkan dalam persyaratan layanan publik muncul saat kualitas layanan BPJS bagi kelas menengah bawah masih minim perbaikan? Itu tidak make sense!" ucap direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (IndoStrategic) tersebut.

Dengan kata lain, menurut Umam, usulan Cak Imin untuk mengulur jadwal Pemilu 2024 tampaknya karena ingin bantuan dana politik dari sektor privat atau pelaku usaha. Tujuannya agar PKB bisa lebih terkonsolidasi, seiring dengan membaiknya situasi pandemi dan pemulihan ekonomi.

Kedua, Umam menambahkan, usulan Cak Imin adalah buying time strategy atau strategi mengulur waktu. Hal itu mengingat tingkat elektabilitas tertinggi di bursa capres lebih banyak didominasi oleh tokoh nonparpol atau tokoh parpol namun tak punya kendali, dan mereka yang duduk di jabatan publik. Praktis tokoh parpol yang punya elektabilitas memadai hanya Prabowo Subiyanto dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

"Selebihnya, Airlangga, Cak Imin, dan pimpinan parpol lainnya masih berada di posisi satu koma. Artinya, upaya pengunduran pemilu ini adalah strategi mengulur waktu agar elektabilitas tokoh-tokoh pejabat publik nonparpol mengempis seiring berakhirnya periode kepemimpinam mereka, sembari berharap para tokoh parpol dengan elektabilitas rendah bisa menaikkan elektabilitasnya masing-masing," kata Umam.

Ketiga, Umam melanjutkan, usulan Cak Imin yang senada dengan usulan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia beberapa waktu lalu, besar kemungkinan hanya mengakomodasi suara pengusaha yang berusaha mempertahankan kepentingan bisnis mereka yang khawatir terdampak oleh perubahan struktur kekuasaan nasional.

Karena itu, kata dia, argumen pengunduran Pemilu 2024 besar kemungkinan didorong oleh perselingkuhan kepentingan ekonomi-politik yang menjadi representasi kekuatan oligarki baru, yang berselancar dalam ruang demokrasi. Umam berpesan, jangan sampai wacana pengunduran Pemilu 2024 justru memfasilitasi semakin kokohnya kekuatan oligarki.

Hal itu sama saja memfasilitasi otoritarianisme baru, yang bebas dan berkuasa untuk mengubah-ubah aturan konstitusi sesuai keinginan dan kepentingan mereka masing-masing. "Lagi pula, pemerintah dan partai-partai politik pendukung seolah masih belum paham dan tidak belajar dari kondisi pandemi ini," kata Umam.

Fakta ekonomi internasional menunjukkan, kata dia, kecepatan suatu negara untuk memulihkan ekonominya sangat ditentukan oleh konsistensi, komitmen, dan kesabarannya dalam menjalankan protokol kesehatan secara ketat. Jika hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi saja, Umam menegaskan, pendekatan kontra pandemi pasti amburadul.

Kondisi itu dibuktikan ketidakjelasan data pandemi, berubah-ubahnya model pendekatan, hingga permainan bisnis obat-obatan dan alat tes yang seolah didiamkan begitu saja. "Ada pihak yang menari-nari di atas penderitaan rakyat dengan mendapatkan margin keuntungan besar dari bisnis PCR, swab antigen, hingga vaksin berefikasi rendah, tapi kenapa seolah didiamkan saja? Pemerintah baru bergerak saat rakyat teriak? No viral no justice!" kata Umam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement