Jumat 25 Feb 2022 15:52 WIB

Wiku: Ada 2 Kunci Utama Menuju Produktivitas Masyarakat Aman Covid-19

Positivity rate rendah dan jumlah orang dites kunci produktivitas aman masyarakat

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, ada dua kunci utama yang perlu dilakukan menuju pembukaan bertahap untuk menjamin produktivitas masyarakat yang aman Covid-19. Yakni positivity rate yang rendah dan jumlah orang yang dites memadai.
Foto: Satgas Covid-19.
Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, ada dua kunci utama yang perlu dilakukan menuju pembukaan bertahap untuk menjamin produktivitas masyarakat yang aman Covid-19. Yakni positivity rate yang rendah dan jumlah orang yang dites memadai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan, ada dua kunci utama yang perlu dilakukan menuju pembukaan bertahap untuk menjamin produktivitas masyarakat yang aman Covid-19. Yakni positivity rate yang rendah dan jumlah orang yang dites memadai.

Wiku mengatakan, positivity rate merupakan proporsi orang yang hasil tesnya positif dari keseluruhan orang yang dites.Positivity rate yang rendah menunjukan bahwa hanya sedikit orang yang positif dari keseluruhan orang yang dites,” jelasnya saat konferensi pers, dikutip pada Jumat (25/2).

Baca Juga

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa risiko penularan yang ada di komunitas cenderung kecil. WHO sendiri menetapkan positivity rate di bawah 5 persen sebagai tolak ukur terkendalinya kasus di masyarakat.

“Standar ini mencakup hasil yang didapatkan baik dari rapid antigen maupun PCR, tergantung kondisi masing-masing negara,” ujarnya.

Sedangkan kunci kedua yakni jumlah orang orang yang dites. Wiku menyampaikan, angka positivity rate tidak akan secara valid memberikan gambaran kondisi risiko penularan di tengah masyarakat apabila jumlah orang yang dites tidak memadai, baik yang menggunakan rapid antigen maupun PCR. Hal ini disebabkan karena kedua metode tersebut memiliki tujuan yang berbeda.

“Ada testing dengan tujuan skrining atau mengetahui sakit tidaknya seseorang terutama sebelum melakukan aktivitas yang berpotensi menulari orang lain seperti mobilitas atau kegiatan perkantoran,” kata Wiku.

Wiku menyebut, alat skrining rapid antigen akan lebih menyasar pada kelompok masyarakat yang sehat dengan akurasi yang cenderung lebih rendah dibanding testing untuk tujuan peneguhan diagnosa. Sementara testing untuk peneguhan diagnosa seperti PCR memiliki akurasi yang lebih tinggi dan lebih banyak digunakan untuk memastikan positif tidaknya orang yang bergejala atau kontak erat.

“Sehingga angka positivity rate sangat dipengaruhi oleh kelompok masyarakat yang dites,” tambah dia.

Testing dengan tujuan peneguhan diagnosa ini dapat menghasilkan angka positivity rate yang lebih tinggi dibandingkan dengan skrining karena menyasar orang-orang yang kemungkinan besar positif. Demikian pula sebaliknya, positivity rate yang didapatkan dari hasil skrining saja bisa jadi rendah, namun tidak memberi gambaran yang valid. Hal ini dikarenakan hasil dari orang yang kemungkinan besar positif justru tidak terhitung.

“Untuk itu, testing perlu dilakukan dengan jumlah yang memadai, baik untuk keperluan skrining maupun peneguhan diagnosa. Sebab keduanya berkontribusi atas validnya angka positivity rate,” jelas Wiku.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement