Jumat 25 Feb 2022 23:55 WIB

Pengamat: Perjanjian Ekstradisi Singapura-Indonesia Untungkan Indonesia

Perjanjian ekstradisi bertujuan mencegah dan memberantas tindak pidana lintas negara

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Esthi Maharani
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kedua kiri) menyaksikan Menkum Ham Yasonna Laoly (kanan) dan Mendagri Singapura K Shanmugam bertukar dokumen terkait perjanjian ekstradisi di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).
Foto: Antara/Setpres-Agus Suparto
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kedua kiri) menyaksikan Menkum Ham Yasonna Laoly (kanan) dan Mendagri Singapura K Shanmugam bertukar dokumen terkait perjanjian ekstradisi di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pemerintah Indonesia dan Singapura resmi menandatangani perjanjian ekstradisi. Perjanjian itu telah diupayakan sejak 1998. Perjanjian ekstradisi bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana lintas negara. Tindak pidana yang dimaksud meliputi korupsi, narkotika, dan terorisme.

Pengamat Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair), I Gede Wahyu Wicaksana menyebut, Indonesia diuntungkan oleh perjanjian itu. Karena sebelumnya banyak pelaku tindak pidana dari Indonesia yang bersembunyi di Singapura.

"Dalam kasus tersebut pun pemerintah Indonesia tidak bisa menggunakan prosedur hukum yang berlaku,” kata Wahyu di Surabaya, Jumat (25/2).

Wahyu mengatakan, melalui perjanjian tersebut, dapat berguna sebagai perlindungan WNI di Singapura. Selain itu, pemerintah Indonesia juga dapat menerapkan hukuman yang tepat bagi para pelaku tindak pidana.

Hal itu kemudian juga berlaku bagi Singapura. Indonesia dapat menindaklanjuti orang-orang Singapura yang melakukan kejahatan agar dihukum dan diadili di Negeri Singa tersebut.

“Namun Singapura memang tidak memiliki banyak kasus yang harus diselesaikan oleh Indonesia. Warga negara Singapura yang melakukan kejahatan pun hampir tidak pernah kabur ke Indonesia,” ujar Wahyu.

Kendati menguntungkan, perjanjian yang disepakati di Bintan, Kepulauan Riau tersebut memiliki masa retro aktif. Masa retro aktifnya diperpanjang. Semula 15 tahun menjadi 18 tahun, sesuai dengan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pemerintah Indonesia akan meratifikasi (mengesahkan) perjanjian tersebut dalam bentuk Undang-Undang (UU) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karena menurut Wahyu, perjanjian tersebut perlu diratifikasi agar memiliki daya laku.

“Oleh karena itu meratifikasi perjanjian ke dalam UU adalah langkah yang tepat,” kata dia.

Setelah mengesahkan perjanjian tersebut, Wahyu menyebut bahwa pemerintah Indonesia dapat langsung mengeksekusi. Buronan Indonesia di Singapura dapat langsung diproses melalui hukum.

“Indonesia bisa mengekstradisi para buronan berbagai kasus tersebut. Negara Singapura juga tidak bisa menolak untuk mendukung proses itu. Tinggal bagaimana pemerintah Indonesia akan mengeksekusinya seperti apa,” ujar Wahyu.

Sebelum perjanjian ini disahkan, kata Wahyu, Indonesia harus meminta bantuan kepada Australia. Hal itu guna memproses pelaku kejahatan di Singapura. Karena terlebih dahulu Singapura memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia.

“Biasanya dilakukan melalui red notice. Jadi ada permintaan untuk menemukan dan menahan sementara orang yang terlibat dalam kasus-kasus kriminal atau tindak pidana. Namun status dari orang tersebut yakni sudah ditetapkan dalam Daftar Pencarian Orang," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement