Jumat 25 Feb 2022 16:46 WIB

Komunikasi Antarbudaya pada Perkawinan Campur di Amerika

Perbedaan budaya mendasari perlunya komunikasi antarbudaya.

Rep: Kampus Republika/ Red: Partner
.
.

Ilustrasi perkawinan campur. Foto : pixabay
Ilustrasi perkawinan campur. Foto : pixabay

Oleh Maya May Syarah

Dosen Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika

"Papi, thankgiving kan sudah lewat tapi kenapa makan besar kita menunya kalkun panggang? " tanya Emmily remaja siswa SMA yang tinggal di Fort Myers, Florida, Amerika Serikat kepada ayahnya yang asli orang Indonesia. Dengan cepat sang ayah menjawab," Kita memang tidak sedang merayakan thankgiving, tapi kita sedang menyambut aunty Maya yang belum pernah merasakan kalkun panggang seperti ini".

Percakapan tersebut salah satu yang didengar penulis ketika melakukan kunjungan ke Amerika Serikat pada akhir 2021 sampai awal Februari 2022. Selama kunjungan penulis lebih banyak menghabiskan waktu di Florida. Selama penulis berada disana pembahasan mengenai budaya menjadi salah satu pembahasan yang menarik di kala waktu makan bersama di keluarga pasangan kawin campur warga negara Indonesia dan Amerika Serikat ini.

Komunikasi sangat dibutuhkan manusia, tidak hanya untuk mengirim dan menerima pesan atau informasi tetapi untuk memudahkan interaksi yang terjadi. Perbedaan budaya bukanlah halangan untuk mengkomunikasikan suatu pesan, karena interaksi sosial antar manusia melalui komunikasi dapat terjadi dalam komunikasi verbal dan nonverbal. Meski bukan suatu halangan, budaya campuran juga sulit bagi pasangan kawin campur karena perbedaan banyak hal yang ada dalam setiap pasangan.

Komunikasi antar budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Komunikasi lintas budaya pada dasarnya melihat bagaimana budaya mempengaruhi kegiatan komunikasi, makna pesan verbal dan non-verbal, dan apa yang ingin disampaikan. Bagaimana menyampaikannya, kapan menyampaikannya, dan bagaimana caranya. (Syaiful, 2009)

Saat memutuskan untuk melakukan pernikahan campur, para pelaku mempertimbangkan budaya campuran yang terjadi di sana. Situasi ini terdengar sulit bagi mereka yang hanya ingin merasakan budaya baru atau hanya ingin masuk ke dalamnya. Budaya tempat mereka dilahirkan sangat beragam sehingga banyak yang percaya bahwa perbedaan budaya dapat menyebabkan perpisahan.

"Budaya itu sensitif, kadang ini hal sepele, namun lama-lama bisa menjadi masalah besar bila kedua belah pihak tidak bisa menerima dan ini bisa menjadikan perpisahan. Jadi ya kita harus bisa saling menyesuaikan budaya" tutur Iman kepala rumah tangga asal Indonesia salah satu pelaku perkawinan campur.

Proses penyesuaian budaya ini dikenal sebagai konsensus, dan tidak semua pasangan pelaku perkawinan campur yang ditemui penulis mengakui bahwa mereka menyetujui pasangan masing-masing pada awal pernikahan. Biasanya kesepakatan terjadi seiring perjalanan pernikahan mereka. Proses pembuatan konsensus dapat lebih cepat, tetapi tidak menghilangkan kemungkinan proses lama. (Hadawiyah, 2016)

"Awal mau menikah kami tidak mempermasalahkan bagaimana budaya kami yang sangat berbeda, karena saya pun berdarah Chinese Cambodia namun besar di Amerika jadi sudah bisa menerima perbedaan. Bahkan awalnya saya tidak tahu budaya Indonesia itu seperti apa, " papar Allice istri dari Iman.

Komunikasi antarbudaya berperan dalam asosiasi budaya yang berbeda. Melalui komunikasi, pencampuran budaya dapat dilakukan. Allice menjelaskan bahwa hal terpenting dalam pernikahan adalah komunikasi, baik campuran atau tidak, tetapi pernikahan campuran harus tahu mengenai komunikasi lintas budaya.

Artinya memahami dan menerima budaya orang lain yang berbeda budaya merupakan dasar untuk membangun komunikasi yang efektif. Konteks penerimaan budaya berkaitan dengan jenis perkawinan. Anna Fitzpatrick mengidentifikasi tiga aspek yang membedakan jenis perkawinan. Pertama, sifat ketergantungan, kebutuhan untuk saling berbagi emosi. Kedua, sifat idealisme, yakni pernikahan yang berlangsung menurut kepercayaan dan nilai-nilai tradisional pasangan itu. Dan ketiga, tipe komunikasi, bagaimana pasangan menghadapi konflik dalam proses pernikahan. (Verderber & Verderber, 1998: 383).

Hakikat pernikahan dalam tiga dimensi ini dapat berubah dari waktu ke waktu tergantung pada perhatian dan pola komunikasi pasangan. Menerima budaya lain merupakan faktor pendukung komunikasi antar budaya. Dengan cara ini, kita terbuka terhadap budaya orang lain dan dapat memahaminya melalui bahasa dan adat istiadat mereka. Komunikasi antar budaya penting dalam perkawinan campuran agar kedua pasangan dapat saling memahami.

Kesulitan juga dapat terjadi pada anak-anak yang lahir dari pasangan yang berbeda budaya, yakni bahasa anak. Bahasa adalah salah satu kesulitan perkawinan campuran, terutama pengantin baru, sehingga masih diperlukan banyak penyesuaian. Ditambah dengan kehadiran anak-anak yang orang tuanya berbicara bahasa yang berbeda, ini bisa menjadi masalah tersendiri. Ketika seorang anak atau bahkan pasangan menghadapi lebih dari satu bahasa, itu seperti kompetisi bahasa yang sulit.

"Untuk bahasa yang digunakan di keluarga kami terutama dengan anak-anak kami tidak terlalu ada masalah karena sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia. Masalah baru muncul ketika kami melakukan komunikasi dengan keluarga dari saya yang berbahasa Indonesia ataupun dengan keluarga besar dari Allice yang menggunakan bahasa China. Anak-anak saya tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia atau China. Paling hanya seperti “apa kabar”, “terima kasih”, “makan”. Padahal anak saya yang paling besar sudah pernah saya kirim ke Indonesia sendiri waktu dia SD," papar Iman.

Iman tidak mengajarkan bahasa Indonesia pada anak-anaknya agar mereka tidak mengalami kebingungan dalam berbahasa sementara mereka tinggal di lingkungan yang menggunakan bahasa Inggris. Padahal ketika bertemu dengan teman-teman sesama orang Indonesia, Iman selalu menggunakan bahasa Indonesia.

"Di Fort Myers ini ada beberapa orang Indonesia juga kalau ketemuan ya kita tetap pakai bahasa Indonesia. Meski mereka bertamu ke rumah saya tetap ngobrolnya bahasa Indonesia. Jadi anak-anak kadang tidak ikut dalam percakapan, mereka hanya mendengarkan bahkan kadang meninggalkan kami.”

Beulah Rohrlich menjelaskan bahwa komunikasi seringkali menjadi masalah utama dalam keluarga perkawinan campuran. Rohrlich menawarkan beberapa opsi untuk upaya koordinasi.

Artinya, dengan penyesuaian satu sisi (one way adjustment), seseorang mengadopsi pola budaya yang berbeda. Mencoba memahami budaya satu pasangan menciptakan konteks dua bahasa yang berbeda, dan setiap kali kondisi ini terpenuhi. Berikut adalah penyesuaian alternatif (alternative adjustment). Dalam satu kasus satu budaya berlaku, dalam kasus lain budaya lain berlaku. Kondisi ini juga berlaku ketika menggunakan bahasa. Koreksi alternatif sering ditemukan ketika menggunakan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris di rumah atau di luar (Dodd, 1998)

Bahasa yang menjadi kendala yang tidak dapat diatasi oleh pasangan ini, juga dapat menjadi tantangan bagi pasangan campuran untuk mengintegrasikan budaya mereka, karena mereka mempelajari budaya itu sendiri dengan mempelajari bahasa negara lain. Ketika kita belajar tentang budaya orang, terutama pernikahan, sebenarnya kita bisa belajar lebih banyak daripada pasangan kita yang memilikinya sejak kita lahir.

Komunikasi antarbudaya pasangan dapat menyebabkan akulturasi. Dimana akulturasi dapat menciptakan budaya baru yang merupakan perpaduan dari dua budaya yang berbeda. Hal ini dapat berdampak baik. “Seiring berjalannya waktu jika mensatukan dua individu yang berbeda itu nantinya pasti akan dapat menyesuaikan dengan sendirinya. Contoh dalam hal makanan, anak-anak kami bisa makan makanan China, makanan Indonesia dan makanan ala Amerika,” jelas Allice yang biasanya menyajikan makanan Amerika untuk sarapan karena dianggap lebih praktis.

Akulturasi dapat berdampak positif pada pasangan campuran karena mendorong pasangan untuk melakukan penyesuaian untuk menciptakan keharmonisan keluarga. Komunikasi lintas budaya dan akulturasi merupakan bagian yang koheren.

Seperti yang terjadi pada pasangan bule Amerika Ron dan Mei wanita asal Hongkong yang juga tinggal di Cape Coral, Fort Myers, Florida. Ron kini sangat menyukai dan bisa menerima bila istrinya membuat black garlic yakni bawang putih yang telah difermentasi pada suhu dan kelembapan tertentu. Black garlic ini dipercaya memiliki khasiat yang baik untuk kesehatan. Hal ini biasa dilakukan oleh keluarga yang berasal dari Cina.

“Awal saya tidak suka terutama ketika proses pembuatan black garlic. Saya tidak kuat dengan baunya. Rumah saya dipenuhi bau bawang putih, “ ungkap Ron. Namun seiring waktu kini Ron sangat menyukai black garlic dan tidak mempermasalahkan proses pembuatannya lagi.

Akulturasi adalah konsep proses sosial yang terjadi ketika sekelompok orang dari budaya tertentu dihadapkan pada unsur-unsur budaya asing yang secara bertahap diterima dan diserap ke dalam budaya mereka tanpa kehilangan kepribadian budaya mereka sendiri (Koentjaraningrat, 1990).

Proses akulturasi budaya ini seringkali menimbulkan konflik yang salah satunya diakibatkan oleh salah paham antara keduanya karena perbedaan suku dan sulitnya beradaptasi dengan kondisi tersebut. Pengamatan penulis menunjukkan bahwa komunikasi yang terbuka antara suami dan istri tidak serta merta mengurangi intensitas konflik dalam proses eskalasi hubungan pernikahan. Semuanya melalui proses yang bertahap dan harus dilakukan secara terus menerus.

Akulturasi dapat menyebabkan dominasi budaya yang unggul. Ini bisa terjadi jika pasangan terlalu mempromosikan budaya, atau jika mereka memutuskan untuk tinggal di atau belajar lebih banyak tentang area yang sudah mendarah daging dalam budaya itu.

Alkuturasi yang terjadi dalam komunikasi antar budaya dapat menghilangkan stereotype. Menurut Kornblum, Stereotipe merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. (Mulyana, 2006).

Konteks stereotip terkait dengan kecenderungan mereka yang percaya bahwa orang terlalu menyederhanakan dan tidak peka terhadap fakta objektif, yang menciptakan prasangka. Individu mungkin memiliki prasangka (stereotipe) terhadap orang lain, tetapi tidak semua prasangka itu negatif, karena ada juga yang positif.

Karena seleksi budaya ini secara teoritis dikenal sebagai kompromi midpoin (midpoint compromise), para pihak telah memutuskan untuk menetapkan posisi masing-masing sebagai jalan keluar dari perbedaan budaya. (Dodd, 1998)

Sebuah studi sistemik tentang proses adaptasi budaya yang terjadi dalam komunikasi antar budaya antara perkawinan campur di Fort Myers. Bagian mendasar dari suatu sistem terlihat ketika seseorang secara aktif berusaha berkomunikasi dan berharap dapat berkomunikasi dengan lingkungannya.

Mei berusaha belajar memahami lingkungan di sekitarnya seperti berbahasa Inggris yang baik atau belajar kebudayaan Amerika yang biasa Ron lakukan. Alhasil Mei bisa berbahasa Inggris dengan baik, padahal awal kedatangannya ke Amerika dia tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Mei pun kini sudah biasa mengikuti cara makan bersama dengan keluarga Ron yang asli Amerika.

Perbedaan budaya itulah yang mendasari perlunya komunikasi antar budaya di antara perkawinan campur. Budaya tidak dapat memisahkan pernikahan antara pasangan, melainkan dapat membagi pernikahan sesuai dengan diri pribadi masing-masing individu. Seorang suami mengirimkan pesan dari hati ke istri atau anak-anaknya membuat komunikasi lebih efektif dan terjadi dari istri ke suami atau anak-anaknya. Kesediaan untuk mendengarkan dan mencoba memahami pesan yang dikomunikasikan pasangan juga dapat menjadi salah satu pendukung komunikasi yang efektif antar pasangan. (Rosalyn, Maria Eva dan Kuncoroyakti, Yohanes Arie, 2019)

Komunikasi antarbudaya antara pasangan suami istri dapat berfungsi untuk menyatukan perbedaan mereka. Kemampuan menerima pasangan dari budaya yang berbeda sebagai kebiasaan sehari-hari, baik dalam bahasa maupun kebiasaan, merupakan bagian penting dari komunikasi antarbudaya. Kondisi ini mengarah pada komunikasi transaksional dimana masing-masing pasangan memegang peranan penting dalam komunikasi, yang berguna untuk komunikasi lintas budaya.

Mayoritas pasangan yang memilih untuk menikah perlu terbuka terhadap budaya yang mereka bawa, seperti kepercayaan, nilai, dan norma. Jika kedua belah pihak tidak memiliki pikiran terbuka, kemungkinan pernikahan yang langgeng seperti panggangan api, karena kehendak dipaksa untuk menjalankan keyakinan, nilai, dan norma pasangannya.

Kompromi antar pasangan dalam pernikahan merupakan salah satu faktor penting dalam menjaga keharmonisan keluarga. Kompromi ini dibuat dalam banyak gaya hidup, dan kompromi merupakan bagian penting dari komunikasi. Komunikasi adalah proses yang dinamis dan selalu berubah yang merupakan bagian dari konteks yang lebih besar. Perubahan ini terjadi ketika pasangan menikah. Komunikasi antar budaya pasangan beda ras ini dapat menyebabkan munculnya budaya baru dimana budaya satu bangsa dapat bercampur dengan budaya asing lainnya.

Adanya budaya baru ini biasanya terjadi ketika salah satu pasangan memiliki budaya dominan yang lebih unggul dari pasangan lainnya. Alkulturasi bisa menjadi baik karena masing-masing pasangan berusaha mengkoordinir keluarga untuk melanggengkan pernikahan.

sumber : https://kampus.republika.co.id/posts/58731/komunikasi-antarbudaya-pada-perkawinan-campur-di-amerika
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement