REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Perdana Menteri Israel Naftali Bennett melakukan percakapan via telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Ahad (27/2/2022). Dalam perbincangan, Bennett menawarkan kesiapan Israel menjadi mediator untuk menengahi konflik Rusia dan Ukraina.
“Perdana Menteri Naftali Bennett berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin sore ini. Keduanya membahas situasi antara Rusia dan Ukraina,” kata kantor perdana menteri Israel dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Al Arabiya.
Keputusan Bennett menghubungi Putin terjadi setelah beredarnya laporan bahwa Ukraina meminta Israel memediasi perselisihannya dengan Rusia. Hal itu pun dikonfirmasi Kremlin dalam siaran persnya tentang perbincangan via telepon Bennett dengan Putin. “Pada gilirannya, Naftali Bennett menawarkan layanan mediasi Israel untuk menghentikan tindakan militer,” kata Kremlin, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.
Kremlin mengungkapkan, pada kesempatan itu, Putin memberi tahu Bennett tentang operasi militer khusus Rusia untuk membela Donbass dari rezim Ukraina. "Dinyatakan juga bahwa delegasi Rusia berada di kota Gomel, Belarusia, dan siap melakukan pembicaraan dengan perwakilan Kiev, yang sejauh ini telah menunjukkan pendekatan yang tidak konsisten dan belum menggunakan kesempatan ini," katanya.
Sebelumnya, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan, delegasi Rusia sudah tiba di Belarusia untuk melakukan pembicaraan dengan Ukraina. Delegasi tersebut terdiri dari perwakilan kementerian luar negeri, kementerian pertahanan, dan lembaga lainnya. Tokoh yang memimpin delegasi adalah asisten Putin, Vladimir Medinsky.
Saat ini Rusia tengah menghadapi sanksi ekonomi keras dari Barat. Selain membidik lembaga keuangan dan militer, sanksi juga telah menyetop akses Rusia ke sistem pembayaran internasional, yakni SWIFT. Uni Eropa juga mencantumkan anggota parlemen Rusia yang menyetujui kemerdekaan Luhanks dan Donetsk ke daftar hitam. Luhansk dan Donetsk adalah dua wilayah di timur Ukraina yang dikuasai kelompok separatis pro-Rusia.
Pada 24 Februari lalu, Rusia memulai serangannya terhadap Ukraina. Serangan itu merupakan buntut dari “diabaikannya” tuntutan jaminan keamanan Rusia kepada Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Moskow meminta NATO agar tak membuka pintu bagi keanggotaan Ukraina di aliansi tersebut. Menurut Putin, jika Kiev bergabung dengan NATO, ada kemungkinan mereka akan berusaha merebut kembali Krimea.
Rusia diketahui menganeksasi Krimea pada 2014. Menurut Putin, jika Ukraina mengambil langkah semacam itu, Rusia berarti harus berhadapan langsung dengan NATO. Dengan demikian, perang tak terhindarkan. Putin mengakui, secara postur militer, Rusia kalah jika dibandingkan NATO. Namun dia pun mengingatkan bahwa Rusia adalah salah satu kekuatan nuklir dunia. Dalam pandangan Putin, tidak akan ada pemenang jika Rusia berperang dengan NATO.
Baca juga:
Airlangga: Kasus Covid-19 di Luar Jawa Bali Masih Naik
Tebing Jalur Pamekasan-Sampang Longsor
Menkes: Perayaan Lebaran Tahun Ini Bisa Normal, Asalkan…