Terorisme Dinilai Proxy untuk Hancurkan Islam dan Negara
Red: Fernan Rahadi
Terorisme (ilustrasi) | Foto: republika
REPUBLIKA.CO.ID, SAMARINDA -- Terorisme merupakan kejahatan yang tidak hanya mengancam keamanan masyarakat, tetapi sebagai proxy untuk menghancurkan citra Islam dan negara. Dampak yang ditimbulkan oleh aksi terorisme yang mengatasnamakan agama adalah munculnya islamofobia yang memperburuk citra Islam dan menentang ideologi negara.
"Perlu ditegaskan bahwa memang tidak ada kaitannya antara terorisme dengan agama. Karena tidak ada satu pun ajaran agama yang membenarkan terorisme. Tetapi, terorisme berkaitan dengan pemahaman yang menyimpang dari subtansi agama oleh oknum umat beragama," kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid saat menjadi narasumber seminar di Muktamar ke 22 Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), di Samarinda, Selasa (22/2/2022).
Tanpa banyak disadari bahwa terorisme yang seringkali mengatasnamakan Islam adalah fitnah terhadap Islam, karena bertentangan dengan ruh ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Aksi dan narasi propaganda yang disebarkan kelompok radikal terorisme sangat jauh dari nilai agama yang mengajarkan perdamaian, persaudaraan dan perdamaian.
“Kelompok radikal justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti mengadu domba sesama masyarakat, ajakan tidak percaya terhadap negara, bahkan saling mengkafirkan sesama muslim. Tujuan kelompok ini sejatinya ingin membuat kegaduhan untuk menciptakan konflik,” paparnya.
Selain sebagai fitnah terhadap Islam, menurut Nurwakhid, radikal terorisme sejatinya merupakan gerakan politik yang mempolitisasi agama dengan tujuan mengganti dasar dan ideologi negara. Mereka memperalat dalil agama untuk kepentingan nafsu politiknya dalam menentang perjanjian luhur dan konsensus nasional.
Di dalam sistem demokrasi, semua pihak mendapatkan ruang kebebasan untuk menyampaikan gagasan dan pemikiran yang berbeda. Namun, menurutnya, pandangan dan ideologi yang digagas dan diusung tidak boleh bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati bersama sebagai komitmen berbangsa dan bernegara.
“Kita boleh berdebat tentang hal khilafiyah, tetapi hal yang tidak bisa ditawar dan menjadi kewajiban dalam beragama adalah menjaga dan merawat perjanjian. Mereka (radikal terorisme) adalah kelompok pembangkang atau bughat yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan mempolitisasi agama," kata Nurwakhid.
Karena itulah, menurutnya, masyarakat harus menyadari terorisme sebagai virus yang lebih berbahaya dari virus covid-19. Penyebaran virus ini sangat mudah menular melalui mata dan telinga masyarakat yang terhasut narasi radikalisme. Narasi yang dimainkan kelompok radikal selalu membenturkan agama dan budaya, agama dan nasionalisme dan agama dengan ideologi negara.
Perkembangan teknologi dan informasi melalui internet semakin mempercepat proses penyabaean virus narasi radikalisme ini. Masyarakat terutama generasi muda sangat rentan ketika menghabiskan banyak waktu dengan membaca dan menerima informasi yang mengajarkan intoleransi, kebencian, fitnah, dan hoaks yang dimainkan kelompok radikal
Menurut Nurkhawid , virus radikal ini akan mudah menyebar terlebih di tengah menguatnya sentimen keagamaan dalam kontestasi politik, perasaan dizalimi, dendam dan kebencian terhadap yang berbeda. Berbagai konflik di negara seperti Timur Tengah diawali dengan berkembangnya narasi radikal yang tumbuh subur di tengah masyarakat.
"Kami telah mengindentifikasi banyak sekali varian virus radikal yang bisa mempengaruhi masyarakat hanya dalam waktu singkat menjadi radikal, tetapi kami juga sudah menyediakan vaksin yang terbaik agar masyarakat tidak mudah tertular virus ini," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Brigjen Pol Nurwakhid, mengajak organisasi kemasyarakatan seperti DDI untuk aktif menjadi penyedia vaksin anti radikal. Ormas keagamaan merupakan mitra strategis BNPT dalam membentengi masyarakat agar tidak tertular virus radikalisme.