Serangan Rusia ke Ukraina belakangan tak hanya soal pengerahan pasukan militer dan saling tukar tembakan semata. Dunia maya dipenuhi propaganda dari kedua belah pihak soal perang tersebut. Tak semuanya benar, tak semuanya salah dalam upaya mencari kedudukan moral dalam perang tersebut.
Nah, seperti itu juga kondisi pada 1 Maret 1949, momen yang dikenal dalam sejarah Indonesia dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret. Peristiwa itu jauh dari semata peristiwa militer. Yang tak kalah penting adalah propaganda yang berhasil diluncurkan para republikan pendukung kemerdekaan Indonesia kala itu.
Alkisah, pada 1948, pemerintah republik dihantam dengan upaya perebutan kekuasaan oleh PKI di Madiun. Hantaman yang disebut melemahkan pemerintah tersebut dijadikan kesempatan oleh pemerintah kolonial Belanda melancarkan "Operasi Gagak", sebuah upaya merebut kembali kekuasaaan di Indonesia dengan propaganda bahwa pemerintahan Indonesia sudah tak ada lagi.
Para pimpinan republik ditangkapi, dan berbagai serangan dilancarkan besar-besaran di berbagai daerah. Satu per satu wilayah jatuh, hingga puncaknya, ibu kota sementara di Yogyakarta direbut. Dalam biografinya "Tahta untuk Rakyat" (1982), Sri Sultan Hamengkubuwono IX menuturkan bahwa ia menyaksikan perkembagan itu dengan gelisah.
Terlebih, siaran radio-radio yang ia dengarkan kala itu mulai mengesankan bahwa media barat sudah termakan propaganda Belanda soal Republik Indonesia yang sudah tak ada lagi. Hal ini krusial karena Dewan Keamanan PBB bakal membahas persoalan Indonesia ini pada akhir Februari dan awal Maret.
Dunia harus tahu, Indonesia masih hidup dan bernapas. Dari sini, menurut Sri Sultan, ia mendapatkan inspirasi untuk serangan umum serentak di Yogya meski hanya untuk menunjukkan keberadaan pasukan republik.
Sementara di kalangan militer, Letkol dr Wiliater Hutagalung, dokter Panglima Besar Sudirman sekaligus penasihat gubernur militer III punya gagasan serupa. Ia secara teknis menyarankan serangan serentak di wilayah Divisi III Lingkar Perlawanan (Wehrkreise) yang menyasar kota besar dan harus diketahui dunia internasional.
Setelah disampaikan ke Panglima Besar Sudirman, gagasan dari Sri Sultan atau dr Hutagalung ini mulai diinstruksikan secara bertahap. Sri Sultan juga menuturkan ia menunjuk langsung Letkol Soeharto sebagai pemimpin lapangan.
Selain persiapan militer, persiapan propaganda juga tak kalah penting. Lokasi serangan, misalnya, dipusatkan ke Yogyakarta yang selain sebagai ibu kota sementara, juga dipenuhi wartawan asing. Pemuda-pemuda yang bisa berbahasa Inggris, Prancis, atau Belanda diberi seragam tentara untuk mengartikulasikan serangan jika ditanyai wartawan asing.
Tentu propaganda itu tak ada gunanya jika tak bisa dipancarkan. Dari itu, digunakanlah pemancar radio milik Angkatan Udara yang ditempatkan di Banaran, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Pada 1999, media Yogyakarta, Bernas, mewawancarai Herman Budi Santoso yang merupakan putra dari Sabar Wiyonomukti, anak buah KSAU Boedihardjo. Herman menuturkan, bahwa Sri Sultan juga memerintahkan langsung penyiaran serangan itu pada Boedihardjo. Perintah itu disampaikan Kolonel TB Simatupang yang membawa surat perintah dengan menyamar sebagai petani.
Dengan peralatan radio sederhana PC2, berita serangan umum yang berhasil enam jam menduduki Yogyakarta kemudian dikirimkan secara berantai menggunakan kode morse. Mulanya ke Sumatra, kemudian dikirimkan lagi ke Myanmar, lalu ke India yang saat itu sangat mendukung kemerdekaan Indonesia.
Dari India, siaran lalu diteruskan ke Eropa dan Amerika Serikat hingga akhirnya sampai ke markas PBB di New York dan jadi pertimbangan rapat Dewan Keamanan PBB. Propaganda Indonesia saat itu berhasil menegaskan keberadaan pasukan perlawanan sekaligus kedaulatan negara dan akhirnya menggoyang dukungan dunia untuk kemerdekaan Indonesia.