Selasa 01 Mar 2022 13:02 WIB

Majelis Umum PBB akan Isolasi Rusia Akibat Invasi Ukraina

Rancangan resolusi PBB sudah memiliki setidaknya 80 sponsor bersama.

Rep: Dwina agustin/ Red: Friska Yolandha
Duta Besar Prancis untuk PBB Nicolas de Riviere berbicara selama pertemuan Dewan Keamanan di markas besar PBB, Ahad, 27 Februari 2022.
Foto: AP/Seth Wenig
Duta Besar Prancis untuk PBB Nicolas de Riviere berbicara selama pertemuan Dewan Keamanan di markas besar PBB, Ahad, 27 Februari 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang beranggotakan 193 negara mulai lakukan pertemuan membahas mengenai krisis di Ukraina pada Senin (28/2/2022). Mereka mencoba melakukan pemungutan suara untuk mengisolasi Rusia dengan menyelesaikan agresi terhadap Ukraina dan menuntut pasukan Rusia berhenti berperang dan menarik diri.

Majelis Umum akan memberikan suara minggu ini pada rancangan resolusi yang mirip dengan teks yang diveto oleh Rusia di Dewan Keamanan PBB pada Jumat (25/2/2022). Tidak ada negara yang memiliki hak veto di Majelis Umum dan diplomat Barat mengharapkan resolusi yang membutuhkan dukungan dua pertiga anggota untuk diadopsi.

Baca Juga

Sementara iitu, resolusi Majelis Umum tidak mengikat, mereka membawa bobot politik. Amerika Serikat dan sekutunya melihat tindakan di PBB sebagai kesempatan untuk menunjukkan bahwa Rusia terisolasi karena invasi ke negara tetangga Ukraina.

Menurut para diplomat, rancangan resolusi tersebut sudah memiliki setidaknya 80 sponsor bersama. Lebih dari 100 negara akan berbicara sebelum Majelis Umum memberikan suara.

"Tidak ada yang bisa mengalihkan pandangan mereka, abstain bukanlah pilihan," ujar Duta Besar Prancis untuk PBB, Nicolas de Riviere.

Resolusi ini pun menjadi harapan baru karena pembicaraan gencatan senjata antara pejabat Rusia dan Ukraina gagal membuat terobosan. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berharap pembicaraan itu akan menghasilkan tidak hanya penghentian segera pertempuran, tetapi juga jalan menuju solusi diplomatik.

Guterres menggambarkan keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menempatkan penangkal nuklir Rusia dalam siaga tinggi pada akhir pekan sebagai perkembangan yang mengerikan. Dia mengatakan, kepada Majelis Umum bahwa konflik nuklir tidak dapat dibayangkan.

Guterres juga memperingatkan tentang dampak konflik terhadap warga sipil. Dia mengatakan itu bisa menjadi krisis kemanusiaan dan pengungsi terburuk di Eropa dalam beberapa dekade.

"Meskipun serangan Rusia dilaporkan sebagian besar menargetkan fasilitas militer Ukraina, kami memiliki laporan yang kredibel tentang bangunan tempat tinggal, infrastruktur sipil yang kritis, dan target nonmiliter lainnya yang mengalami kerusakan parah,” kata Guterres.

Duta Besar Ukraina untuk PBB, Sergiy Kyslytsya, menggambarkan perintah Putin untuk membuat pasukan nuklir Rusia waspada sebagai hal yang gila. "Jika dia ingin bunuh diri, dia tidak harus menggunakan senjata nuklir, dia harus melakukan apa yang dilakukan orang di Berlin di sebuah bunker pada 1945," katanya kepada Majelis Umum, merujuk pada bunuh diri Adolf Hitler.

Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan, tindakan Rusia di Ukraina sedang terdistorsi. "Tentara Rusia tidak menimbulkan ancaman bagi warga sipil Ukraina, tidak menembaki wilayah sipil," katanya kepada Majelis Umum.

Rusia menyebut tindakannya di Ukraina sebagai operasi khusus yang tidak dirancang untuk menduduki wilayah, tetapi untuk menghancurkan kemampuan militer tetangga selatannya. Moskow melakukan tindakan yang dianggapnya sebagai nasionalis berbahaya. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement