Operasi Keselamatan Semeru, Polda Jatim Terjunkan 3.879 Personel
Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
Personel TNI mengikuti Apel Gelar Pasukan Operasi Ketupat Semeru di Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur. | Foto: Antara/Didik Suhartono
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepolisian Daerah Jawa Timur menggelar Operasi Keselamatan Semeru 2022 selama dua pekan, mulai 1 hingga 14 Maret 2022. Irwasda Polda Jatim, Kombes Pol Mohamad Aris mengatakan, pihaknya menerjunkan 3.879 personel dalam operasi yang bertujuan utama menertibkan lalu lintas tersebut.
Aris memastikan, dalam operasi yang digelar, pihaknya bakal mengedepankan tindakan preemtif dan prefentiv. "Secara humanis dan persuasif dalam rangka meningkatkan kepatuhan dan kedisiplinan masyarakat dalam berlalu lintas dengan tetap menerapkan Prokes," ujarnya saat menggelar apel pasukan, Selasa (1/3).
Namun demikian, kata Aris, polisi tetap akan melakukan tindakan represif, utamanya terhadap delapan pelanggaran lalu lintas prioritas. Pelanggaran yang dimaksud di antaranya tidak menggunakan helm, melebihi batas kecepatan, mengemudikan kendaraan belum pada waktunya, tidak memakai sabuk keselamatan, dan mengemudikan kendaraan dalam keadaan mabuk.
"Kemudian mengemudikan kendaraan bermain HP, melawan arus, dan kendaraan angkutan barang overload yakni kelebihan muatan," ujar Aris.
Aris melanjutkan, polisi juga memaksimalkan teknologi yang telah terpasang, seperti halnya kamera CCTV atau tilang elektronik. Langkah ini sebagai upaya peningkatan modernisasi sistem teknologi informasi secara berkelanjutan serta mendorong inovasi pelayanan publik berbasis IT.
"Seperti yang dilakukan oleh Polda Jatim khususnya Ditlantas polda jatim yakni e-TLE maupun IMCAR," kata dia.
Aris menegaskan pentingnya operasi yang digelar. Karena berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan operasi keselamatan tahun 2020-2021, baik pelanggaran maupun kecelakaan lalu lintas mengalami kenaikan. Untuk kecelakaan naik mencapai 70 persen, sedangkan pelanggaran tembus 100 persen.
Ia menyatakan, hal ini dikarenakan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam berlalu lintas, apalagi di masa pandemi Covid-19. Masyarakat menganggap adanya toleransi dari aparat penegak hukum dalam melakukan upaya represif yakni penindakan di masa pandemi Covid-19.
"Sehingga mereka lebih fokus kepada protokol kesehatan dibandingkan aturan keselamatan lalu lintas di jalan raya," ujarnya.