REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produk kayu Indonesia masih punya peluang besar untuk meningkatkan pangsa pasar di Uni Eropa di tengah rencana penerapan kebijakan rantai pasok bebas deforestasi atau Deforestation-free Supply Chain (DFSC).
Adanya sertifikat legalitas kayu yang kini bertransformasi menjadi sertifikat kelestarian kayu dengan promosi yang lebih gencar diyakini menjadi keunggulan bagi produk Indonesia menembus pasar Uni Eropa (UE).
Duta Besar Indonesia untuk Belgia merangkap Luxemburg dan Uni Eropa Andri Hadi mengungkapkan saat ini Uni Eropa (UE) sudah mengajukan proposal DFSC. Apabila kebijakan itu diterapkan akan mempengaruhi sejumlah komoditas Indonesia, termasuk produk kayu.
"Berdasarkan proposal tersebut, produk yang masuk ke UE harus diproduksi bebas dari deforestasi dengan batas waktu (cut-off date) 31 Desember 2020. Nantinya akan ada proses due diligence yang memperhitungkan geolokasi, penilaian kepatuhan, dan langkah mitigasi yang dilakukan. Proses due diligence akan memperhatikan peringkat risiko negara asal komoditas yaitu rendah, standar, atau tinggi," kata Andri dalam pernyataan resminya, Senin (28/2/2022).
Andri menuturkan, pihaknya telah menyampaikan catatan khusus, karena enam komoditas yang dimasukkan dalam proposal DFSC akan berpengaruh terhadap paling tidak empat produk unggulan ekspor Indonesia diantaranya kayu, kelapa sawit, kopi dan kakao.
Khusus untuk produk kayu, UE telah memiliki skema FLEGT dan juga sudah menjalin kemitraan sukarela dengan Indonesia (VPA). Indonesia bahkan menjadi satu-satunya negara yang sertifikat produk kayunya (SLK) sudah disetarakan sebagai FLEGT License.
Menurut Andri, FLEGT VPA seharusnya menjadi standar untuk memastikan produk kayu yang masuk ke UE berasal dari sumber yang lestari sehingga due diligence harusnya ditiadakan bagi produk yang telah memenuhi sertifikasi SVLK.
Sampai saat ini pasar UE yang totalnya mencapai 120 miliar dolar AS masih dikuasai oleh China. Vietnam yang belum punya FLEGT License pun masih ada di peringkat yang lebih baik dari Indonesia yaitu menempati peringkat ke-10.
Andri menyatakan meski belum mendominasi pasar UE, namun kinerja ekspor produk kayu Indonesia terus menunjukkan peningkatan sejak terjalin FLEGT VPA dengan UE. Tahun 2016 ketika FLEGT VPA pertama kali terjalin, ekspor produk kayu Indonesia tercatat 813,5 juta euro. Nilainya kemudian konsisten naik dan mencapai 1,07 miliar euro di tahun 2021.
"Produk seperti parket kayu, furnitur, kertas, kayu lapis menunjukan kenaikan lebih dari 20 persen di tahun 2021 dibandingkan tahun 2022," katanya.
Menurut Dubes Andri masih banyak produk kayu yang ekspornya potensial untuk dioptimalkan. "Dari 44 kode HS produk kayu yang masuk FLEGT VPA, masih ada 19 kode HS yang masih bisa ditingkatkan ekspornya," katanya.
Dia menyebutkan salah satunya adalah produk kayu untuk kebutuhan bahan bakar (dalam bentuk kayu serpih, pelet atau bentuk lainnya). Hal ini dikarenakan banyak negara UE yang masih memanfaatkan bahan bakar biomassa untuk menggantikan batubara.
Ia pun menyinggung, konflik Rusia-Ukraina juga bisa berdampak pada ekspor produk kayu Indonesia. Pasalnya, konflik telah menaikkan harga gas yang berarti banyak negara butuh bahan bakar alternatif. Di sisi lain, Rusia juga telah mengumumkan untuk menghentikan ekspor kayu gelondongan yang akan membuat banyak industri pengolahan kayu di UE kesulitan bahan baku.
Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Finlandia dan Estonia Ratu Silvy Gayatri mengungkapkan masih banyak potensi yang bisa digarap di pasar Finlandia. “Pasar produk kayu kehutanan di Indonesia masih luas untuk digarap. Kita bisa lakukan berbagai upaya inovatif untuk menggali potensi produk dan kemudian dipromosikan dalam berbagai ajang di Finlandia,” papar Dubes Ratu Silvy.
Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI), Indroyono Soesilo mengungkapkan kinerja sektor kehutanan positif di awal tahun 2022. Total ekspor produk kayu pada Januari 2022 sebesar 1,23 miliar dolar AS naik 28,2 persen dibandingkan Januari 2021.
Untuk wilayah Uni Eropa dan Inggris, Ekspor pada Januari 2022 juga tercatat mengalami kenaikan sebesar 29,69 persen dengan nilai 104,1 juta dolar AS dibandingkan dengan catatan pada tahun 2021 sebesar 80,2 juta dolar AS.
"FKMPI siap bekerja sama untuk terus meningkatkan ekspor produk kayu ke UE di tengah situasi yang penuh tantangan saat ini," kata Indroyono yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.