REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah harus mulai mengantisipasi kenaikan harga gandum yang menjadi bahan baku makanan olahan. Kenaikan harga gandum merupakan imbas konflik antara Rusia dan Ukraina.
"Efek dari kelangkaan gandum atau terganggunya rantai pasok gandum dari Rusia dan Ukraina bisa membuat produsen meneruskan kenaikan harga gandum kepada konsumen. Artinya mi instan dan roti, itu harganya akan lebih mahal," kata Bhima, Selasa (1/3/2022).
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) perlu mencari alternatif pemasok gandum yang berasal dari negara lain seperti Australia, Amerika Serikat, dan China. Lalu Indonesia perlu menandatangani kontrak jangka panjang untuk memastikan pasokan dan harga gandum tetap stabil.
"Peran pemerintah dan Bulog penting untuk membantu dan memfasilitasi importir guna mencari negara-negara yang siap untuk memasok gandum. Kemendag juga diharapkan memfasilitasi importir gandum untuk mengamankan harga," imbuhnya.
Ia juga meminta kepada pemerintah untuk melakukan komunikasi dengan pelaku usaha makanan dan minuman olahan agar tidak meneruskan kenaikan harga kepada konsumen. "Jadi minta pengertian kepada pengusaha bahwa situasi sekarang tidak semua konsumen siap menerima kenaikan harga karena bisa mempengaruhi daya beli. Beberapa pengusaha sudah memahami itu sehingga mereka memilih memotong margin keuntungan dibanding meningkatkan harga jual," katanya.
Produsen bahan pangan alternatif pengganti gandum seperti tepung beras dan jagung juga bisa memanfaatkan keterbatasan bahan impor dari Ukraina dan Rusia ini. "Sehingga ketergantungan terhadap gandum impor juga bisa berkurang secara bertahap dengan produktivitas pangan lokal yang lebih meningkat dan dominan," katanya.
Selain gandum, diperkirakan konflik antara Rusia dan Ukraina dapat mengganggu rantai pasok komoditas lain. Misalnya minyak bumi dan barang tambang hingga harganya meningkat dan menyebabkan inflasi.