Selasa 01 Mar 2022 23:36 WIB

Harga Elpiji Naik, Pemerintah Perlu Genjot Kompor Listrik

Konversi menuju kompor listrik langkah ideal tekan beban fiskal akibat impor elpiji

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja melakukan bongkar muat gas elpiji nonsubsidi di salah satu agen LPG Nonsubsidi di Jalan Emong, Lengkong, Kota Bandung.Untuk mengurangi dampak fiskal, sebenarnya pemerintah dapat memilih kebijakan konversi kompor listrik. Dengan begitu beban fiskal akibat impor LPG dapat ditekan.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Pekerja melakukan bongkar muat gas elpiji nonsubsidi di salah satu agen LPG Nonsubsidi di Jalan Emong, Lengkong, Kota Bandung.Untuk mengurangi dampak fiskal, sebenarnya pemerintah dapat memilih kebijakan konversi kompor listrik. Dengan begitu beban fiskal akibat impor LPG dapat ditekan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Melonjaknya harga Liquefield Petroleum Gas (LPG) dunia akibat dampak perang Rusia - Ukraina, memberi efek negatif bagi perekonomian nasional. Apalagi, Indonesia merupakan importir LPG.

Tercatat, harga acuan LPG yaitu CP Aramco tercatat mengalami kenaikan hingga mencapai 775 dolar AS per metrik ton (MT) pada Februari 2022 dibandingkan dengan harga rata-rata sepanjang 2021 yaitu 637 dolar AS per MT.

Jika kondisi ini dibiarkan maka besaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terus melonjak, begitu pula defisit neraca perdagangan bakal kian melebar. Sehingga dibutuhkan solusi jangka panjang untuk menyelesaikan masalah ini, salah satunya melalui konversi LPG ke kompor listrik.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo mengatakan, pemerintah dapat melakukan evaluasi dan menerbitkan kebijakan menanggapi kondisi melonjaknya harga gas LPG. Hanya saja, pihaknya berharap pendekatan yang dilakukan ialah perhitungan ekonomi.

"Evaluasinya jangan menggunakan perhitungan politis. Kita ketahui bahwa harga migas ada kecenderungan naik dalam beberapa waktu, disitu (mitigasinya) sebenarnya bisa dihitung," ujar Agus, Selasa (1/3).

Berdasarkan data BPS, nilai impor migas sepanjang 2021 sebesar 25,52 miliar dolar AS atau naik dibandingkan dengan impor migas tahun sebelumnya sebesar 14,25 miliar dolar AS. Dampaknya, defisit neraca perdagangan migas pada 2021 melebar hingga 13,25 miliar dolar AS.

Untuk mengurangi dampak fiskal, sebenarnya pemerintah dapat memilih kebijakan konversi kompor listrik. Dengan begitu beban fiskal akibat impor LPG dapat ditekan.

Agus mengatakan untuk melakukan konversi kompor listrik, perlu diperjelas dengan aturan pemerintah. Pasalnya, apabila konversi hanya dilakukan dengan kerelaan maka diprediksi program tersebut sulit diimplementasikan.

"Bahasanya, mengalihkan atau konversi harus dengan paksaan atau melalui peraturan. Kalau sukarela, kapan selesainya?" katanya.

Merujuk konversi minyak tanah ke kompor gas, diperlukan beleid setingkat Peraturan Presiden. Saat itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefield Petroleum Gas (LPG) Tabung Tiga Kilogram.

Agus menambahkan beleid setingkat Peraturan Presiden mempermudah implementasi dan koordinasi. Mengingat, pelaksana aturan konversi tidak hanya satu sektor saja.

Senada dengan Agus, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kenaikan harga LPG  menjadi momentum untuk mendorong penggunaan kompor listrik di masyarakat.

"Saya kira peluang terjadinya migrasi di pengguna LPG nonsubsidi ke kompor listrik dengan adanya penyesuaian harga LPG sangat memungkinkan. Hal ini juga akan membantu PLN dalam mendorong terjadinya peningkatan konsumsi listrik rumah tangga," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement