REPUBLIKA.CO.ID, Mantan tenaga kerja wanita (TKW) asal Indramayu, Provinsi Jawa Barat, Darwinah, tidak menyangka sudah 15 tahun bergiat di bidang usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Itu dilakukannya setelah dia memutuskan berhenti bekerja di Hong Kong pada tahun 2008. Selain berusaha, dia memiliki rumah edukasi kewirausahaan yang telah mencetak 1.600 pelaku UMKM.
"2001 sampai 2008 saya kerja di Hong Kong dan saya relawan Dompet Dhuafa di sana. Sekarang sudah 15 tahun pendampingan terhadap UMKM dititikberatkan ke ibu-ibu dan pandemi banyak bapak-bapak didampingi. Alhamdulillah komunitas bapak bapak tiga tahun didampingi dampak mereka terkena PHK," ujarnya saat berbagi pengalaman di acara pegiat UMKM di Politeknik Bisnis Digitak Praktisi, Kota Bandung, Rabu (2/3/2022).
Dia mengungkapkan, latar belakang terjun ke dunia usaha dan UMKM karena melihat kondisi di Indramayu yang banyak menyalurkan pekerja ke luar negeri. Sempat bekerja di Hongkong saat masih lajang, dia tidak setuju jika perempuan pergi ke luar negeri bekerja dan meninggalkan keluarganya.
"Indramayu kabupaten terbesar penyumbang pekerja migran indonesia (PMI) tahun 2019 21 ribu. Dampak sosialnya IPM rendah, perceraian tinggi," katanya.
Dengan kondisi tersebut, dia merenung dan berpikir untuk bergerak wirausaha. "Kalau diam saja, siapa yang harus berbuat maka 2008 saya pulang ke Indonesia dan saya mulai berwirausaha," katanya.
Darwinah menyebut masalah yang terus terjadi dan tidak pernah diputus mata rantai tersebut berakar dari persoalan ekonomi. "Basic saya pendidikan agama, suami tenaga kesehatan bagian bedah. Kami memulai diri sendiri berwirausaha 2008. Alhamdulillah, 2011 saya coba membuka rumah edukasi kewirausahaan udah 1.600 wirausaha yang diciptakan," katanya.
Harapannya saat itu, dia mengatakan, apabila perempuan di Indramayu bisa mandiri dan dapur tetap ngebul, maka tidak mungkin akan meninggalkan anak untuk bekerja ke luar negeri. Sejak rumah edukasi berdiri banyak masyarakat yang ingin belajar berwirausaha.
"Berawal dari meminimalisasi angka keberangkatan perempuan ke luar negeri dengan sendirinya sampai sekarang banyak teman-teman yang ke rumah edukasi diberikan pendampingan. Pendampingan yang diberikan mereka harus belajar satu tahun. Kalau sudah satu tahun fasilitas legalitas dan kemasan itu difasilitasi dikolaborasikan melalui pentahelix," ungkapnya.
Dia mengaku, tidak memiliki anggaran. Namun, memiliki niat baik bekerja sama dengan berbagai pihak. Kelas-kelas yang dilakukan yaitu kelas kewirausahaan, kelas online, dan kelas tahfiz.
"Background saya yatim, (ibu) anak banyak sejak kelas satu jualan es di rumah. Kami tidak pernah mengajukan proposal (kegiatan rumah edukasi)," katanya.
Darwinah menceritakan kendala pelaku UMKM di masa pandemi ini adalah bahan baku mahal. Sedangkan konsumen meminta harga produk yang dijual murah.
"Kami di kelas kewirausahan, mereka belajar soal HPP agar tidak rugi. UMKM zaman dahulu mereka gak hitung HPP bisa nyekolahin anak aja untung. Tiap kelas 20 orang, masya Allah hari ini pada posisi 180 derajat berbanding terbalik, 2009 dulu saya mengajak orang berwirausaha saya dicibir. Tapi hari ini masya Allah kalau dilihat di IG saya UMKM.kelas hari minggu udah banyak yang ngantri," katanya.
Dia menyebutkan, para pelaku usaha di rumah edukasi kewirausahaan 70 persen fokus di kuliner sedangkan 30 persen di ekonomi kreatif. Terkait dengan UMKM naik kelas, kata dia, bahwa produk di Indonesia lebih baik dibandingkan produk lain.
Selama menggeluti UMKM, dia mengatakan, merambah ke sektor perikanan dan perindustrian. Selain itu memiliki sentra oleh-oleh. Saat ini total terdapat 150 orang bapak-bapak yang terlibat dalam budidaya ikan tawar.
"Jadi TKI gaji Rp 8 juta sekarang per bulan bisa Rp 30 juta," katanya.
Di tempat rumah edukasi kewirausahaan, pihaknya mendorong agar seluruh pelaku UMKM memiliki produk sendiri dan berbeda-beda. Sistem pendampingannya ialah ketika 20 orang ikut kelas maka dijamin 20 orang itu tidak memiliki produk yang sama.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan pelatihan-pelatihan pemerintah yang memiliki tujuan akhir membuat produk yang sama. "Sistem pendampingan satu kelas mempunyai produk berbeda sesuai passion masing-masing karena tiap orang memiliki fashion masing-masing," katanya.
Dia menilai, pelatihan yang dibuat pemerintah terkesan seremoni. Oleh karena itu, dia berharap, ke depan pelatihan yang dibuat menyesuaikan dengan passion dari masing-masing peserta pelatihan.