Kamis 03 Mar 2022 14:56 WIB

Hasan Nasbi Cyrus Network: Jika Pemilu Ditunda, Masyarakat Bisa Gusar

Penundaan pemilu dinilai hanya menyenangkan elite politik.

Hasan Nasbi Cyrus Network: Jika Pemilu Ditunda, Masyarakat Bisa Gusar. Foto:   Bilik dan kotak suara Pemilu 2019 di AS (Ilustrasi)
Foto: VOA
Hasan Nasbi Cyrus Network: Jika Pemilu Ditunda, Masyarakat Bisa Gusar. Foto: Bilik dan kotak suara Pemilu 2019 di AS (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Wacana penundaan Pemilu 2024 yang disuarakan elite politik terus mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan. Bahkan, wacana tersebut dinilai sebagai upaya mengganggu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelesaikan pemerintahannya dengan baik.

Pendiri Cyrus Network, Hasan Nasbi mengakui, penundaan pemilu memang bukan barang baru di Indonesia. Bahkan, Indonesia juga pernah mempercepat jalannya pemilu yang harusnya siklus lima tahunan.

Baca Juga

Dia bercerita, Indonesia berdiri tahun 1945 tetapi baru menggelar pemilu pada 1955. Hal itu terjadi karena saat itu kondisi Indonesia belum stabil baik secara politik maupun keamanan negara.“Jadi kita enggak langsung pemilu,” kata Hasan, Kamis (3/3/2022).

Dia melanjutkan, Pemilu 1955 berhasil dilaksanakan tetapi pada 1959 pemilu dibubarkan presiden. Hingga 1970, Indonesia tidak lagi menggelar pemilu.

“Tertunda terus, tertunda terus, karena pada saat itu ada pemberontakan di mana-mana, laskar partai bentrok, kita tak mungkin menggelar pemilu,” kata Hasan.

Hasan kembali bercerita, pada 1971 Indonesia baru kembali menggelar pemilu.,Selanjutnya, siklus pemilu kembali tertunda. Harusnya 1976 tetapi baru bisa digelar 1977. “Karena fusi partai belum beres, maka pemilu ditunda tahun 1977,” ujar Hasan.

Hasan menambahkan, selain menunda pemilu, Indonesia juga pernah mempercepat pemilu. Tepatnya pada tahun 1999.

Hasan menceritakan, pemilu harusnya digelar 2002 tapi dipercepat tahun 1999. Karena ada komitmen politik bersama antara Presiden BJ Habibie dengan para kekuatan politik saat itu.

“Jadi sebenarnya bukan hal baru penundaan pemilu, percepatan pemilu, bukan hal baru. Sudah pernah kejadian berkali-kali. Tapi semua itu selalu ada alasannya,” kata Hasan.

Menurut Hasan, penundaan dan percepatan pemilu kala itu dilakukan karena melihat stabilitas politik dan keamanan Indonesia saat itu. Memang tidak memungkinkan untuk melakukan pemilu. “Sekarang pertanyaannya apakah siklus lima tahunan sedang ada kendala? Tidak ada,” tegas dia.

Dia menerangkan, saat ini kondisi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sudah on the track. Baik dari sisi ekonomi yang tengah berlangsung pulih, maupun penanganan Covid-19 yang terbilang salah satu terbaik di antara negara-negara dunia.

Hasan bahkan bercerita Indonesia berhasil menggelar Pilkada pada tahun 2020. Padahal saat itu angka Covid-19 terus melonjak. Namun, penyelenggaraan berlangsung dengan baik tanpa ada catatan buruk.

“Sehingga menurut saya justru itu tidak bisa jadi alasan untuk menunda pemilu,” kata dia.

Hasan melihat sebuah kewajaran apabila ada elite politik yang mewacanakan perpanjangan masa jabatan. Terlebih, elite tersebut saat ini tengah sedang menikmati jabatan dan kekuasaan. 

“Mereka senang, anggota DPR, menteri happy dong kalau misalnya pemilu ditunda, masa jabatan mereka diperpanjang,” kata Hasan.

Namun dia menekankan, kehidupan di Indonesia tak hanya diisi elite politik. Tapi berbagai elemen termasuk petani, ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa, LSM, buruh dan media.

Menurut dia, mereka pihak di luar elite politik tentu saja tidak setuju apabila pesta rakyat lima tahunan justru ditunda. Apalagi, ada Rp85 triliun uang yang dibelanjakan dalam proses Pemilu serentak 2024.

Dalam proses pemilu, ada kampanye yang melibatkan  banyak orang dan menghabiskan biaya cukup besar. Baik calon presiden, partai politik maupun calon legislatif. Sehingga hal ini memicu pertumbuhan ekonomi.

“Itu semua membuat ekonomi kita terangkat semua, buat masyarakat bahagia, ini pestanya mereka. Sehingga kalau ditunda, masyarakat tentu akan gusar, protes, bisa jadi akan marah,” terang Hasan.

Hasan juga menyinggung tentang penundaan pemilu akan berdampak buruk bagi citra Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebab, Jokowi akan dituding sebagai orang yang haus akan kekuasaan.

Meskipun, Hasan yakin Jokowi tak ingin melakukan perpanjangan masa jabatan, apalagi mengubah konstitusi menjadi tiga periode jabatan presiden. Dia meyakini, Jokowi masih bisa berpikir dengan jernih.

“Pak Jokowi ingin meninggalkan legacy yang baik dan manis dicatatan republik ini sebagai presiden. Meninggalkan begitu banyak warisan secara fisik, tapi juga meninggalkan demokrasi, siklus kepemimpinan yang baik. Hari ini saya melihatnya seperti itu,” tekan Hasan.

“Baru wacana saja sudah ada tuduhan miring kepada presiden, apalagi sudah tahap pembahasan secara politik,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement