REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PBB pada Kamis (3/3/2022) melaporkan satu juta orang telah meninggalkan Ukraina sejak Rusia melancarkan perangnya terhadap negara itu sepekan lalu. Penghitungan ini menunjukan lebih dari dua persen populasi Ukraina yang berpindah-pindah dalam waktu kurang dari seminggu.
“Hanya dalam tujuh hari, kami telah menyaksikan eksodus satu juta pengungsi dari Ukraina ke negara-negara tetangga,” kata Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Filippo Grandi di Twitter.
“Bagi jutaan orang lainnya di Ukraina, sudah waktunya berhenti perang sehingga bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan jiwa dapat disalurkan,” terang Grandi.
Di tengah suasana yang mencekam ini, masih terjadi diskriminasi terhadap pengungsi. Saat banyak orang simpati dan menyambut pengungsi Ukraina, ini tidak terjadi pada orang Afrika yang ada di sana.
Karena warna kulit, beberapa di antara mereka kesulitan untuk bisa meninggalkan negara yang tengah berkonflik itu. Padahal ketakutan yang mereka alami ketika perang Rusia-Ukraina memanas adalah sama.
Orang-orang Afrika yang mencoba melarikan diri dari negara itu mengaku mereka mengalami perlakuan rasis di perbatasan karena warna kulit mereka. Siswa Eswatini Vkile Dlamini, yang menyeberang ke Rumania dari Ukraina, mengatakan bahwa dia melakukan perjalanan paling sulit dalam hidupnya.
Sebanyak 20 persen mahasiswa asing di Ukraina adalah orang Afrika. Ukraina adalah salah satu pilihan pertama bagi siswa asing karena biayanya yang terjangkau.
Menurut data yang dirilis pada 2020 oleh Kementerian Pendidikan Ukraina, sekitar 80 ribu siswa dari 158 negara belajar di negara tersebut. Di antara mereka, India berada di puncak daftar dengan 18.429 pelajat, Maroko dengan 8.233, Azerbaijan dengan 5.470, dan Nigeria dengan 4.379 pelajar. Siswa Afrika merupakan 20 persen dari siswa asing di Ukraina.