Jauh sebelum Boedi Oetomo berdiri pada tahun 1908, telah berdiri di Bandengan, Kota, Tionghoa Hwe Koan yang bergerak di bidang pendidilan pada tahun 1901. Menyusul di Pekojan berdiri Djamijatchaer tahun 1905 yang bergerak di bidang yang sama.
Meskipun Belanda membagi kelas sosial ke dalam tiga peringkat:
1. Hollander en Eropeaner
2. Vreemde Oosterlingen, termasuk Tionghoa dan Arab
3. Inlander
Tap,i Vreemde Oosterlingen tak dapat menikmati kedudukan kelas sosialnya di lembaga pendidikan yang dibikin Belanda, melainkan pas naik trem.
Di trem kelas 1 Hollander en Eropeaner, kelas 2 Tionghoa dan Arab, kelas 3, tanpa kursi, inlander dan kambing. Kelas 3 disebut juga kelas kambing.
Tapi di sekolah Belanda, baik Tionghoa, Arab, atau Inlander verboden toegang, dilarang masuk. Karena itu THHK berdiri untuk anak China dan Djamijatchaer berdiri untuk anak Arab dan Melayu. Inlander ketika itu disebut Melayu.
Pada kongres Boedi Oetomo II tahun 1909 di Jakarta, B.Oe cabang Betawi mempersoalkan dilarangnya anak-anak Betawi bersekolah di sekokah Belanda. Larangan ini melanggar azas praduga tak bersalah, katanya anak Betawi tak sekolah saja ngelawan Belanda, apalagi kalau disekolahkan.
Memang ada terkecualian seperti misalnya Husni Thamrin , Rochyani Su'ud, dan Mohamad Sapi'i, mereka dianggap dari keluarga terpandang.
Taman Siswa dan Muhammadiyah menembus kesulitan ini dengan mendirikan sekolah-sekolah umum. Sehingga jumlah inlander berpendidikan semakin banyak.
Belanda pun akhirnya menyerah dan aturan syarat masuk sekolah yang mereka dirikan dikendorkan, apalagi bangkit perlawanan rakyat dengan mendiriksn sekolah-sekolah Ongko Loro, dua tahun bersekolah. Nama Ki Hajar Dewantoro tak dapat diketepikan. Begitu juga nama Rahmah el Yunusiah di Sumatera Barat dan Dewi Sartika di Jawa Barat.
Setelah merdeka Bung Karno menggalakan PBH, Pemberantasan Buta Hurup. Rakyat bersemangat menyambutnya karena buta huruf disadari menghalangi kecerdasan.
Sekarang kursus PBH sudah tidak ada. Sekolah segala jenjang berdiri di mana-mana, bahkan ada yang ke luar negeri untuk mengejar pendidikan. Tapi ruang publik di era reformasi terasa tipis dengan oxygen kecerdasan.
*** Penulis: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.