Sabtu 05 Mar 2022 13:26 WIB

Pengunduran Pemilu akan Jadi Skandal Politik

Publik akan marah dan melakukan perlawanan terhadap penundaan pemilu.

Pendiri LSI Denny JA dalam unggahannya di akun Facebook mengatakan, penundaan pemilu akan menjadi skandal politik. Pandemi Covid-19 tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda pemilu.
Foto: istimewa/tangkapan layar
Pendiri LSI Denny JA dalam unggahannya di akun Facebook mengatakan, penundaan pemilu akan menjadi skandal politik. Pandemi Covid-19 tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pendiri Lingkaran Survei Indnesia (LSI) Denny JA mengingatkan bahwa perpanjangan masa jabatan presiden atau pengunduran pemilu akan menjadi skandal politik. Tidak cukup alasan untuk menunda Pemilu 2024.

“Karena tak cukup alasan, sebaiknya para politisi menghentikan manuvernya untuk menunda pemilu, dari tahun 2024 ke 2027. Memperpanjang- panjang kekuasaan tanpa alasan yang cukup akan dicatat sejarah sebagai skandal politik,” kata Denny JA.

Pernyataan ini diunggah Denny dalam akun Facebooknya @Denny JA_World, pada Sabtu (5/3/2022).

Tonton Video:

Denny JA: Perpajangan Jabatan Presiden akan Membuat Rakyat Melawan

Dalam unggahan itu Denny mengatakan, Sila pertama demokrasi itu menyelenggarakan pemilu secara reguler. Rakyat berhak memilih dan mengganti pemimpinnya secara reguler lewat pemilu.

Tentu saja karena situasi darurat, pemilu dapat ditunda. Misalnya kasus yang terjadi di Ukraina saat ini.

"Hanya untuk permisalan saja. Katakanlah ini sudah dijadwalkan jauh hari sebelumnya. Pemilu Ukraina secara reguler misalnya akan diselenggarakan 7 hari dari sekarang (11 Maret 2022). Masuk akal jika pemilu di negara itu ditunda,” paparnya.

Menurut dia, penundaan itu bisa dilakukan karena Ukraina sedang diserang. Sedang terjadi perang. Prioritas utama penduduk di sana untuk survival. Mustahil mereka bisa berencana menyelenggarakan pemilu seperti di era normal.

'Suasana darurat memang dibolehkan menunda pemilu. Tapi itu haruslah alasan yang cukup, masuk akal,  bisa diterima common sense seperti kasus Ukraina sekarang,” kata Denny dalam unggahan tersebut.

Namun, sambung Denny JA, di Indonesia, menjadikan Covid- 19 untuk menunda pemilu di tahun 2024, dua tahun dari sekarang, itu justu bertentangan dengan data.  Alasan itu ditolak oleh fakta yang sangat terang benderang.

Jelas sudah. Clear. Bukti menujukkan situasi covid-19 di Indonesia, juga di dunia justru sekarang semakin aman.

Denny menunjukan data. Di bulan Maret 2022, jumlah kematian karena Covid-19 bertambah sedikit. Denny merujuk data dari Worldometer.

Puncak kematian per hari di Indonesia terjadi di bulan Agustus 2021. Saat itu di Indonesia jumlah yang meninggal sekitar 2000 orang per hari. Tapi di bulan Febuari dan Maret 2021 jumlah kematian di bawah 500 orang per hari. Hal ini karena  covid sudah sangat menurun.

Penyebabnya karena prosentase penduduk Indonesia yang divaksin sudah lebih banyak. Juga dari Worldometer, penduduk Indonesia hingga awal Maret 2022, yang sudah minimal sekali melakukan vaksin sebanyak 69 persen. Adapun yang sudah divaksin dua kali sebanyak 50 persen.

"Bahkan di tahun 2022, ini sudah menjadi trend dunia. Kita bersama memasuki era endemik. Covid-19 masih akan panjang bersama kita. Tapi ini babak akhir era pandemik, yang berubah menjadi endemik,” paparnya.

Yang tertular Covid-19 tetap banyak. Tapi kematian karena Covid-19 jauh lebih sedikit. Menurutnya, Covid-19 akan menjadi sejenis flu. Yang tertular Flu saat ini juga sangat banyak. Tapi kematian karena flu jauh lebih sedikit.

"Di tahun 2022, Covid sudah melewati puncaknya. Apalagi di tahun 2024, dua tahun dari sekarang,” kata Denny.

Tak masuk akal Covid-19 dijadikan alasan untuk menunda sila pertama demokrasi. Sila pertama reformasi. Yaitu pemilu yang diselenggarakan secara reguler. “Kondisi ekonomi juga tak pernah sah dijadikan alasan menunda ekonomi. Apalagi bahkan Menteri Keuangan dan Ekonomi Sri Mulyani menyatakan ekonomi Indonesia terus membaik,” paparnya.

Denny JA memberi sara, era media sosial merekam semua pernyataan politisi. Hendaknya para politisi berhati- hati jika berbicara di publik. Apalagi jika bermanuver untuk makar terhadap sila pertama demokrasi dan reformasi.

"Para politisi itu yang seolah membela Jokowi justru sebenarnya menjerumuskan Jokowi. Sejarah justru akan paling menyalahkan Jokowi karena ia dianggap tak cukup berbuat (not doing enough) mencegah para pendukungnya bermanuver menunda pemilu,” kata Denny.

Denny juga menyebut aneka survei sudah pula dibuat. Jelas hasilnya: mayoritas publik (65-80 persen) menentang penundaan pemilu.

Upaya politisi menunda pemilu dengan amandemen UUD 45 segera mendapatkan perlawanan publik. Akan terjadi kemarahan publik yang meluas karena merasa periode kekuasaan ingin dipanjang-panjangkan tanpa alasan memadai.

“Superman sudah mati. Tak ada politisi yang sedemikian kuatnya dapat membungkam akal sehat dan rasa keadilan masyarakat luas,” kata Denny.

Kalaupun para politisi itu berhasil mematahkan perlawanan rakyat, menurut Denny, sejarah terus bergerak. Di era politisi itu tak lagi berkuasa, rakyat akan membuat museum bagi mereka yang dianggap berkhianat dengan cita- cita reformasi.

"Pemilu dilarang ditunda, kecuali jika ada alasan yang sangat darurat. Untuk kasus Indonesia saat itu, tak cukup alasan darurat menunda pemilu,” kata Denny.  Upaya membenar- benarkan penundaan pemilu, atau menambah jabatan presiden tiga periode, hanya berakhir dengan skandal politik.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement