Sabtu 05 Mar 2022 13:37 WIB

Penundaan Pemilu Berbahaya Bagi Demokrasi dan Sistem Ketatanegaraan

Indonesia memiliki sejarah panjang sukses menyelenggarakan Pemilu sejak tahun 1955.

Bung Hatta dan nyonya menunggu giliran nyoblos pada pemilu 1955.
Foto: Kompen
Bung Hatta dan nyonya menunggu giliran nyoblos pada pemilu 1955.

REPUBLIKA.CO.ID, Abdul Kholik, Senator DPD RI asal daerah pemilihan Jawa Tengah.

Wacana penundaan Pemilu yang dimunculkan sejumlah pimpinan partai politik dinilai mebahayakan demokrasi dan sistem ketatanegaraan. Membahayakan karena akan merusak tatanan demokrasi yang sudah terbentuk dan berjalan baik, dibawa kearah ketidakpastian. Apalagi jika terjadi penundaan dan perpanjangan jabatan tidak ada jaminan pula akan menjadi baik, sebaliknya apabila kondisi memburuk justru berpotensi terjadi kekacauan dan konflik. 

Tidak ada yang lebih baik dari mentaati konstitusi agar Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun. Indonesia memiliki sejarah panjang sukses menyelenggarakan Pemilu sejak tahun 1955. Kenapa tiba-tiba muncul keinginan menunda Pemilu. Ini jelas ahistoris dan terindikasi hanya keinginan segilintir kelompok semata. Terbukti hasil survey yang dilakukan menunjukkan warga sebagian besar menolak penundaan Pemilu. Jadi alasan menunda Pemilu sangat sumir dan tidak memiliki relevansi sama sekali.

Sistem ketatanegaraan juga terancam ketika Pemilu ditunda yang berimplikasi jabatan Presiden dan lembaga lainya diperpanjang. Soal otoritas lembaga mana yang menetapkan penundaan dan perpanjangan jabatan, juga bermasalah. Lalu apa dasarnya untuk menetapkan dan mengisi, karena kelembagaan negara seperti Presiden, DPR, DPD, DPRD, didasarkan hasil Pemilu. Jadi sangat problematik bagi sistem ketatanegaraan  dan beresiko terjadi deligitimasi dan gugatan keabsahan kelembagaan negara apabila diperpanjang.

Penyederhanaan dan Efesiensi Penyelenggaraan Pemilu

Salah satu alasan penundaan adalah mahalnya biaya Pemilu. Padahal kalau dibandingkan, angaran yang diajukan oleh KPU sekitar Rp 86 trilyun, tidak seberapa dibandingkan dengan anggaran proyek pemerintah, sehingga alasan ini sangat tidak logis. Namun demikian ada baiknya anggaran Pemilu masih dapat ditinjau  dengan skema penyederhanaan tahapan tanpa mengurangi kualitasnya Pemilu.

Penyederhanaan ini dapat dilakukan karena adanya fakta empiris sudah berubahanya variable tahapan dan fakta inefesiensi selama pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Penyerderhaan tersebut khususnya terkait tahapan penetapan daftar pemilih (DPT) yang disingkat menjadi dari lima tahap, menjadi dua tahap karena sudah lengkap data e-ktp. Selanjutnya tahap pencalonan juga dapat disederhanakan. Termasuk soal saksi dapat mengoptimalkan menggunakan pengawas lapangan yang ada di setiap TPS, yang dapat diakses oleh semua peserta Pemilu.

Dalam hal penyelenggaraan Pemilu dihadapkan pada tantangan tenaga pelaksana, diera model kampus merdeka, dan merdeka belajar mahasiswa bisa diarahkan untuk menjadi relawan Pemilu. Artinya tidak ada alasan yang kuat dan dapat diterima untuk menunda Pemilu. Mari kita jaga bersama demokrasi yang sudah berjalan baik dan diakui dunia sehingga mengarah pada sistem pemerintahan yang kuat dan demokratis. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement