REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto mengatakan penanganan kekerasan seksual terhadap anak dinilai belum maksimal. Ada sejumlah faktor yang menghambat penanganan tersebut.
Pertama, payung hukuman yang menimpa para pelaku belum maksimal. “Penting bagi aparat penegak hukum untuk melakukan efek jera terhadap pelaku. Kalau ada hukuman mati, seumur hidup, atau kebiri bisa menjadi pikiran yang mendalam ternyata negara serius menangani masalah ini. Kalau hanya negoisasi saya kira itu membuka celah untuk pelaku pedofil semakin merajalela,” kata Yandri dalam webinar yang diadakan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Jumat (4/3).
Yandri mengaku mendapat usulan dari masyarakat tentang revisi Undang-Undang Pesantren. Dalam revisi itu dimungkinkan masyarakat dapat melakukan pengawasan. Apabila terjadi hal yang mencurigakan atau di luar kewajaran, masyarakat dapat melakukan advokasi dan pengawasan. Namun, hal itu tetap perlu diatur dalam undang-undang karena khawatir masyarakat akan main hakim sendiri.
Selain itu, penting juga memberi perhatian terhadap korban. Korban seharusnya tidak diungkap karena itu dapat memengaruhi masa depan anak. “Jangan sampai aib menjadi beban moral dan beban hidup sepanjang masa karena menjadi konsumsi publik. Perlu membuat aturan main kalau korban harus dilindungi dari semua sisi, termasuk identitasnya,” ujarnya.
Terakhir, Yandri menyoroti soal politik anggaran. Sebab, dari sisi anggaran untuk penanganan masalah kekerasan seksual anak masih terbatas. “Saya selalu menyampaikan kepada mitra kami ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPA), Kementerian Sosial, dan Kementerian Agama harus merapikan lg barisan kita untuk memastikan kekerasan ini harus lakukan secara sistematik. Misal, saya selalu sampaikan bagaimana mau serius kalau dari sisi anggaran terbatas,” ucapnya.
Yandri menyebut dari kunjungan di kabupaten dan kota, banyak yang sudah menunjukkan keterbukaan soal potensi kekerasan seksual. Namun, mereka mengeluh terkait anggaran yang minim.
“Ada yang setahun hanya Rp 20 juta atau sama sekali tidak ada. Kami minta dari presiden, menteri, gubernur, mohon keberpihakan anggaran menjadi ukuran yang bisa dilihat. Kalau hanya teori sementara anggaran tidak diikuti secara serius ini masih dianggap main-main,” tambahnya.