Ahad 06 Mar 2022 16:12 WIB

Di tengah Kebijakan Nol Covid-19, Hong Kong Hadapi Lonjakan Kasus

Kamar mayat hampir penuh, rumah sakit kewalahan, dan panic buying dialami warganya

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Gita Amanda
 Warga mengantre untuk tes virus corona di pusat pengujian sementara COVID-19 di Hong Kong, (ilustrasi).
Foto: AP/Vincent Yu
Warga mengantre untuk tes virus corona di pusat pengujian sementara COVID-19 di Hong Kong, (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Kamar mayat hampir penuh, rumah sakit kewalahan, dan panic buying dialami warganya karena takut akan lockdown di seluruh kota. Hong Kong kini menghadapi gelombang infeksi yang kian melonjak di tengah kebijakan nol Covid-nya sejak pandemi melanda dua tahun lalu.

Hong Kong pernah dipuji sebagai negara yang sukses meminimalkan kasus Covid-19. Namun kini keadaan berbalik, Hong Kong justru sedang berjuang melawan wabah mematikan meskipun memiliki lebih dari dua tahun untuk mempersiapkannya.

Baca Juga

Kota berpenduduk 7,4 juta itu mencatat kasus yang ditularkan secara lokal melonjak melewati 312 ribu hanya dalam dua pekan terakhir. Rumah sakit dan petugas kesehatan menghadapi nyata lonjakan akan SARS-CoV-2 pada warganya.

Angka tersebut pun diprediksi lebih tinggi karena munculnya kecurigaan warga yang tidak melaporkan hasil tes positif karena takut dipisahkan dari keluarga dan dimasukkan ke dalam fasilitas isolasi pemerintah.

Dilansir laman CNN, Ahad (6/3/2022), kasus Covid-19 di Hong Kong dipicu oleh varian Omicron yang diteliti tidak menyebabkan sakit parah dan kematian. Kendati demikian kematian di Hong Kong karena virus korona meningkat terutama di antara orang tua yang tidak divaksin.

Menurut Our World in Data, Hong Kong melaporkan lebih banyak kematian per juta orang dalam seminggu hingga 3 Maret daripada negara atau wilayah mana pun. Pemimpin kota Carrie Lam mengatakan, Hong Kong menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dia menegaskan tidak ada yang bisa memprediksi gelombang terbaru. Tetapi menurut ahli virologi klinis Universitas Hong Kong Siddharth Sridhar, situasi Hong Kong adalah bencana yang dapat diprediksi dan dicegah.

Selama dua tahun, ketika pandemi berkecamuk di seluruh dunia, sebagian besar Hong Kong memang ada virusnya, dan ada optimisme yang berkembang bahwa kota itu mungkin akan menjauhkan virus itu selamanya. Namun ketika kasus meningkat, pemerintah menerapkan kembali aturan ketatnya, membatasi pertemuan publik menjadi dua, menutup restoran dan bar setelah pukul 6 sore, dan menutup taman bermain umum.

Namun itu masih belum cukup. Pemerintah berencana untuk meluncurkan uji coba massal wajib dalam upaya untuk membersihkan kota dari Covid-19. Sekolah akan libur musim panas lebih awal dan digunakan kembali sebagai fasilitas isolasi, pengujian, dan vaksinasi. Dan masih belum jelas apakah lockdown seluruh kota akan terjadi sehingga panic buying muncul diantara para warganya.

"Maret akan menjadi waktu yang sangat, sangat sulit. (Ini) jelas merupakan krisis kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk Hong Kong," kata Sridhar.

Untuk kota yang telah menjalani dua tahun pembatasan ketat, berita lockdown di seluruh kota telah terbukti terlalu banyak bagi beberapa penduduk yang dengan panik mencari penerbangan keluar. Sementara tingkat vaksinasi masih tertinggal di antara populasi lansianya, yang berarti banyak kelompok paling rentan masih tidak terlindungi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement