Senin 07 Mar 2022 06:28 WIB

Naskah Akademik Keppres 1 Maret Tuding Orde Baru Rugikan Bangsa, Puji Ekonomi Jokowi

Naskah akademik Keppres yang diteken Jokowi singgung ideologi khilafah.

Aksi teaterikal oleh komunitas Djokjakarta 1945 saat memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949 di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Selasa (3/3/2022).
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Aksi teaterikal oleh komunitas Djokjakarta 1945 saat memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949 di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Selasa (3/3/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akhirnya merilis naskah akademik sebagai rujukan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022 itu.

Akun Twitter Humas Pemda DIY, @humas_jogja, merilis naskah akademik setebal 130 halaman yang tautannya tercantum di laman resmi Direktorat Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Polpum Kemendagri). Padahal, naskah tersebut dibuat oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 2022.

Baca Juga

Tim penulis naskah akademik yang terdiri Sri Margana, Julianto Ibrahim, Siti Utami Dewi Ningrum, Satrio Dwicahyo, dan Ahmad Faisol membuat empat poin terkait penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Ada yang menarik di Bab VI Penutup, yang masuk halaman 117 berjudul "Serangan Umum 1 Maret 1949 Sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara".

Di antaranya, adalah poin nomor tiga yang terdiri lima angka. Berikut sebagian isi naskah akademik tersebut.

Tantangan dan ancaman kontemporer terhadap kedaulatan negara itu adalah:

a) Sejak pemerintah Orde Baru, Indonesia telah terjebak dalam praktik neo-imperialisme yang hendak mengambil alih kedaulatan ekonomi Indonesia dengan memaksakan negara menandatangani berbagai kontrak pengelolaan sumber daya ekonomi yang vital, yang sangat merugikan bangsa dan negara. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kedaulatan ekonomi Indonesia perlahan-lahan dapat diambil alih dari tangan asing.

b) Gerakan separatisme dari dalam masih menjadi persoalan yang harus dihadapi oleh negara. Sedangkan dari luar, dukungan internasional atas upaya separatisme masih ada, misalnya Gerakan Papua Merdeka dan dukungan dari beberapa negara di Pasifik.

c) Gerakan dari dalam mengganti ideologi negara untuk digantikan dengan ideologi asing masih dilakukan, misalnya upaya mengusung ideologi khilafah.

Di halaman 73, huruf D berjudul "Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan Diatur dalam Keputusan Presiden", dijelaskan pula jika kajian akademis yang baru tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 telah diseminarkan pada lingkup daerah dan nasional dalam berbagai seminar lokal dan nasional, yang melibatkan para pakar sejarah dari berbagai universitas di Indonesia.

"Antara lain, Dri Sri Margana (UGM), Julianto Ibrahim (UGM) Prof Nina Herlina Lubis (Unpad), Prof Gusti Asnan (Unand), Dr Suryadi Mapangara (Unhas), Dr Abdul Syukur (UNJ), Hilmar Farid (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Pusat), Prof Mahfud MD (Menko Polhukam), Prof Wildan (Staf Ahli Setneg) merekomendasikan agar peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 dijadikan sebagai Hari Nasional," demikian kajian naskah akademik dikutip di Jakarta, Senin (7/3/2022) pagi WIB.

Dari time line Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dibuat tim penulis, nama Sukarno-Hatta hanya disebut beberapa kali, misalnya pada 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pada 19 Desember 1948 ketika menyelenggarakan sidang mempersiapkan skenario untuk menyelamatkan Indonesia. Keputusan sidang, di antaranya mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat, Sukarno-Hatta memutuskan bertahan di ibu kota negara dan melanjutkan perjuangan secara diplomatik.

Sidang juga memerintahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk terus melakukan perlawanan dengan siasat perang gerilya. Sejak 19 Desember 1948, Sukarno-Hatta ditangkap Belanda, dan diasingkan.

Baca juga : Tak Sebut Soeharto, Pemprov DIY: Bukan Abaikan Jasa Para Pejuang

Pada 6 Juli 1949, Sukarno-Hatta yang ditangkap belanda kembali ke Yogyakarta. Dari sini, terlihat sama sekali tidak ada kaitan langsung yang dilakukan Sukarno-Hatta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Bahkan, penguasa PDRI Syafruddin Prawiranegara juga tidak terlibat.

Sejarawan sekaligus budayawan Fadli Zon menilai, penyusunan Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara salah besar. Menurut Fadli, tidak ada peran Sukarno-Hatta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Karena itu, ia mempertanyakan, Keppres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta pada 24 Februari 2022 itu tidak akurat.

"Saya sudah baca Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, sebaiknya segera direvisi. Data sejarah banyak salah," kata wakil ketua umum DPP Gerindra itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement