Sejarawan Jelaskan Posisi Sultan HB IX Sebagai Menhan Saat SU 1 Maret
Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Muhammad Fakhruddin
Pegawai membersihkan patung perunggu di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Yogyakarta, Kamis (6/8). Selain untuk perawatan berkala, pembersihan ini juga menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Waktu pembersihan ini tidak pasti, terkadang bisa dua tahun sekali. | Foto: Wihdan Hidayat / Republika
REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Posisi Sri Sultan Hamengku Buwono IX masih sebagai menteri pertahanan (menhan) saat Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949. Hal ini ditegaskan oleh sejawaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Julianto Ibrahim yang juga salah satu tenaga ahli Penulis Naskah Akademik Hari Penegakkan Kedaulatan Negara.
"Beliau (Sultan HB IX) masih menjadi menhan," kata Julianto dalam sosialisasi Keppres Nomor 2 Tahun 2022 yang digelar secara daring, Senin (7/3).
Julianto menyebut, saat itu Indonesia dalam masa darurat yang menyebabkan dibentuknya Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Syafruddin Prawiranegara yang menjadi ketua PDRI.
Petinggi negara yakni Presiden Sukarno dan Wapres M Hatta bersama menteri lainnya pun saat itu ditawan di Menumbing, Bangka. Meskipun dalam masa darurat, Julianto menuturkan, kabinet Hatta masih berfungsi.
Sehingga, Sultan HB IX yang merupakan menhan saat itu juga masih aktif. "Contohnya Sudirman, Sudirman kan dia panglima di Kabinet Hatta, tapi di PDRI kan tetap dia jadi panglima juga," ujar Julianto.
Bukti lain yang menunjukkan eksistensi Sultan HB IX sebagai menhan, katanya, yakni usai diadakannya Perjanjian Roem Royen pada 7 Mei 1949. Setelah perjanjian ini, katanya, Syafruddin memberi mandat kepada Sultan sebagai menhan tepatnya pada 14 Juni 1949..
Pasalnya, salah satu isi Perjanjian Roem Royen yakni Belanda menyetujui kembalinya pemerintahan RI ke Yogyakarta. Dengan begitu, harus ada proses yang dilakukan untuk mengembalikan kedaulatan negara ke Yogyakarta.
"Syafruddin mengirim surat, memberi mandat kepada Sultan sebagai menhan. Jadi, Syafruddin sendiri mengakui Sultan sebagai menhan untuk mengondisikan Kota Yogyakarta," jelasnya.
Waktu itu, Sultan diminta untuk mengkondisikan Yogyakarta agar tidak terjadi bentrok antara TNI dan tentara Belanda. Sebab, saat itu pemulangan tentara Belanda dari Indonesia yang mana menjadi bagian dari hasil Perjanjian Roem Royen.
"Maka Sultan memiliki peran penting sebagai menhan, itu terjadi pada 29 Juni 1949 yang itu dikenal sebagai Yogya Kembali. Maknanya apa, kembalinya Yogya sebagai ibu kota republik dan milik republik," tambah Julianto.