Selasa 08 Mar 2022 00:15 WIB

Sejarawan: Naskah Akademik Tunjukkan Peran Penting Soeharto Pimpin Serangan

Sri Margana jelaskan bahwa Soeharto disebut 48 kali dalam naskah akademik.

Red: Teguh Firmansyah
Seroang pelukis melukis wajah Presiden RI ke-2 Soeharto.
Foto: EPA/Weda
Seroang pelukis melukis wajah Presiden RI ke-2 Soeharto.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA  -- Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus tenaga ahli penulis naskah akademik Hari Penegakan Kedaulatan Negara Sri Margana memastikan Keputusan Presiden (Keppres) RI 2/2022 tidak menghilangkan peran Soeharto terkait peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Nama Soeharto bahkan disebut puluhan kali dalam naskah akademik.

"Belakangan ini ada protes bahwa dalam Keppres (peran) Pak Harto tidak masuk, bahkan menghilangkan peran Soeharto. Itu tidak benar karena di naskah akademik kami jelas sekali peran Letkol Soeharto ditunjuk memimpin serangan itu," kata Sri Margana dalam diskusi virtual bertajuk "Memahami Kepres Nomor 2 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara" dipantau di Yogyakarta, Senin.

Baca Juga

Di dalam naskah akademik itu, Margana menjelaskan, nama Soeharto bahkan disebutkan sebanyak 48 kali. Hal ini untuk menunjukkan peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret.

Menurut Margana, Keppres tersebut sebagai dokumen administratif yang tujuannya tidak lain untuk menetapkan Hari Penegakan Kedaulatan Negara."Marilah kita kembali pada esensi pentingnya peristiwa ini sebagai momentum untuk memperingati Hari Penegakan Kedaulatan Negara," kata dia.

Lebih lanjut, Margana menjelaskan bahwa peristiwa perang gerilya merebut kembali Yogyakarta itu bukanlah berkat jasa satu tokoh saja, melainkan berkat kerja kolektif banyak tokoh dan pejuang dengan strategi militer yang sangat kuat."Sebuah proses yang kolektif yang melibatkan begitu banyak orang. Bukan peristiwa seperti 'lone ranger' yang dilakukan satu orang," kata dia.

Serangan Umum 1 Maret, dikatakan Margana melibatkan lebih dari 2.000 personel pasukan baik TNI, Polri, laskar, serta berbagai komponen lainnya.Karena tidak mungkin menyebutkan nama seluruhnya, maka yang dicantumkan dalam Keppres itu hanya pemimpin tertinggi atau perwakilan yang merepresentasikan masing-masing institusi seperti nama Panglima Besar Jenderal Soedirman, Letkol Soeharto, Soekarno, Hatta, serta Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Margana mengatakan bahwa Serangan Umum 1 Maret merupakan penguat kedaulatan Indonesia di dunia internasional dari sisi militer. Sedangkan kedaulatan negara secara politik terus diperkuat melalui berbagai upaya diplomasi oleh Soekarno, Hatta, serta sejumlah petinggi lainnya meski dalam pengasingan di Menumbing di Pulau Bangka.

Meski di penjara, mereka tetap berjuang melalui diplomasi yang disebut dengan "counter propaganda" karena kala itu Diplomat Belanda Van Royen terus meluncurkan informasi keliru di dunia internasional mengenai eksistensi Indonesia.Melalui Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices), Hatta dan Mohammad Roem mengirim tulisan setebal 54 untuk Dewa Keamanan PBB yang isinya meyakinkan bahwa Indonesia tidak seperti yang dibicarakan Belanda.

Namun demikian, kata Margana, diplomasi itu memerlukan dukungan militer karena untuk menunjukkan eksistensi Indonesia tidak hanya secara politik, tapi juga harus dibuktikan secara militer."Kemudian di Yogyakarta pun bergerak Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan melancarkan ide-ide mengenai Serangan Umum 1 Maret," tuturnya.

Kata Margana, HB IX yang kala itu menjabat Menteri Pertahanan RI kemudian memanggil Soeharto yang kala itu berpangkat letkol, untuk membicarakan rencana Serangan Umum 1 Maret."Sultan ini yang menginisiasi Serangan Umum 1 Maret, kemudian Sultan HB IX juga yang memanggil Letkol Soeharto untuk bertemu membicarakan itu," ujar Margana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement