Selasa 08 Mar 2022 23:54 WIB

Budaya Paternalistik, Salah Satu Penghambat Bagi Perempuan Duduki Posisi Pimpinan

Masalah stereotip juga menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan.

Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita saat memberikan pemaparan dalam acara diskusi Katadata dengan tema
Foto: Dok. Web
Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita saat memberikan pemaparan dalam acara diskusi Katadata dengan tema "Breaking The Glass Ceiling", Selasa (8/3/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Budaya paternalistik yang ada di dunia, dan Indonesia, tanpa disadari kerap membuat perempuan dianggap kurang tepat untuk menjadi pemimpin tertinggi dalam satu organisasi atau perusahaan. Direktur Eksekutif Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), Maya Juwita menyatakan, selain masih kentalnya budaya kepemimpinan paternalistik, masalah stereotip juga menjadi hambatan tersendiri bagi perempuan dalam menggapai impiannya menjadi pemimpin di suatu perusahaan.

Perempuan dianggap kurang bisa dalam mengaktualisasi diri, sehingga jadi penghambat untuk memperoleh promosi. Lalu, perempuan dianggap cenderung lebih sulit membangun jaringan dan relasi. Perempuan juga sering dianggap lebih baik berdiam diri di rumah sebagai ibu rumah tangga dibandingkan bekerja.

Baca Juga

Stereotip yang paling parah menurut Maya, kedudukan perempuan dipandang lebih rendah dibandingkan kedudukan laki-laki. Anggapan-anggapan seperti itu masih saja dirasakan atau berlaku di lingkungan perusahaan, sadar maupun tidak sadar. 

Posisi-posisi kepemimpinan atau nilai-nilai kepemimpinan di suatu perusahaan kerap kali dikaitkan dengan maskulinitas dan laki-laki. Perempuan dianggap tidak punya tempat karena tak memiliki nilai-nilai yang selama ini dimiliki oleh laki-laki. 

"Itu sumber masalahnya kalau kita bicara tentang apa yang terjadi dengan fenomena ketimpangan gender atau glass ceiling," kata Maya dalam acara diskusi Katadata dengan tema "Breaking The Glass Ceiling", Selasa (8/3/2022).

Kemudian, lanjut Maya, perempuan dihadapkan konflik tanggung jawab antara keluarga dan perusahaan. Apalagi di saat pandemi covid-19, hal itu semakin berat. Karena selain urus rumah tangga, perempuan juga harus mengurus anak yang bersekolah dari rumah.

Perempuan selalu dihadapkan pada pilihan yang sulit, bagaikan buah simalakama. Kalau perempuan maju atau sukses, rumah tangganya dianggap berantakan. Sebaliknya, kalau perempuan tidak mencoba untuk maju, maka akan merasa tidak bisa mengaktualisasikan dirinya. 

"Banyak faktor terkait dengan fenomena glass ceiling, tapi faktor lingkungan sangat berpengaruh kenapa perempuan tidak bisa mencapai puncak pimpinan tertinggi," kata dia.

Pada dasarnya, kodrat perempuan hanya menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya, pekerjaan-pekerjaan perempuan bisa berbagi dengan dengan laki-laki.

Dia mengaku, sulit mengubah stereotip yang terlanjur sudah mendarah daging. Namun, dia menegaskan, bukan berarti stereotip tersebut tidak bisa dihilangkan. Salah satu strategi menebus fenomena glass ceiling di perusahaan yakni dengan menghubungkan dalam kepentingan ekonomi.

"Kalau kita bicara isu perempuan, masih di bawa ke dalam isu sosial, belum dibawa ke dalam isu ekonomi. Kalau kita bawa itu ke isu ekonomi, akan lebih relevan. Misalnya bagaimana perusahaan berinvestasi pada perempuan dan punya pemimpin perempuan yang berpotensi meningkatkan kinerja bisnis," kata dia.

Meski fenomena glass ceiling terjadi di banyak tempat, namun tidak berlaku di lingkungan Investree. Perusahaan fintech ini selalu menerapkan keadilan bagi seluruh karyawannya, baik perempuan maupun laki-laki.

Chief Marketing Officer Investree, Astranivari bilang, kebijakan tertulis untuk perempuan seperti kesempatan cuti pemeriksaan kehamilan hingga melahirkan sudah pasti diterapkan di Investree. Kemudian juga bagi sang suami, diberikan cuti mendampingi melahirkan istrinya hingga cuti menikah.

Tapi di luar aturan tertulis tersebut,  kesempatan kerja terbuka lebar bagi seluruh karyawan tanpa memandang gender. Mulai dari proses rekrutmen karyawan, tanggung jawab pekerjaan, maupun kesempatan promosi atau naik jabatan. 

"Hal-hal itu kita berikan atau berlaku sama untuk perempuan ataupun laki-laki," kata Astranivari.

Dia mengatakan, Investree memimalisir terjadinya ketimpangan dalam proses bisnis. Ia mencontohkan, jika terdapat karyawan menjalankan tugas ke luar kota, atasan dan anak buah harus terdapat perempuan dan laki-laki. Bila atasannya perempuan, maka anak buahnya laki-laki, begitu pun sebaliknya.

Dari sisi rekrutmen, dia mengaku bahwa masih lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan, perbandingannya 60-70 persen. Tapi hal itu tidak membuat kesempatan bagi perempuan menjadi pemimpin perusahaan tertutup. 

"Dari sisi pemilihan leadership, misalnya untuk menjadi unit leader atau mengisi promosi posisi tertentu, kita memberikan kesempatan yang sama untuk setiap orang yang memang punya kompetensi untuk menempati jabatan tersebut. Investree memberikan keleluasaan semacam itu," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement