REPUBLIKA.CO.ID, MARIUPOL -- Terlihat barisan jenazah di jalan-jalan Kota Mariupol. Warga yang lapar menerobos masuk toko-toko mencari makanan. Sebagian mencairkan salju untuk mendapat air untuk diminum.
Ribuan orang berdesak-desakan di ruang bawah tanah, gemetar oleh suara tembakan rudal Rusia yang terus menghantam kota pelabuhan itu. "Mengapa saya tidak boleh menangis?" tanya Goma Janna sambil mengusap air mata di wajahnya yang diterangi lampu minyak.
Bersembunyi di tempat berlindung bawah tanah ia dikelilingi perempuan dan anak-anak. "Saya ingin rumah saya, saya ingin bekerja, saya sangat sedih pada apa yang menimpa orang-orang dan kota, pada anak-anak," katanya.
Krisis kemanusiaan di kota yang dihuni 430 ribu orang itu belum juga berakhir. Tidak ada bantuan yang masuk. Upaya mengevakuasi warga dan pengiriman bantuan yang sangat dibutuhkan seperti air dan obat-obat melalui koridor aman gagal.