REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk melakukan penarikan utang daerah melalui undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang harmonisasi keuangan pusat dan daerah (UU HKPD). Hal ini bertujuan untuk mengakselerasi pembangunan sejalan prinsip-prinsip kehati-hatian.
Pada Desember 2021, pemerintah bersama Komisi XI DPR telah mengesahkan UU HKPD, salah satu tujuannya, memberikan wewenang untuk pembiayaan utang daerah seperti pinjaman daerah, obligasi daerah, dan sukuk daerah. Hal ini dilakukan untuk membuka ruang fiskal yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan pembiayaan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pembiayaan utang ini dapat memberikan manfaat bagi daerah yang dapat mengelola utangnya dengan baik."Pemerintah daerah harus bisa menggunakan instrumen ini sebagai inisiatif yang baik. Maka kekuatan pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya menjadi sangat penting," ujarnya saat Kick off Sosialisasi UU HKPD di Demak, Kamis (10/3/2022).
Sri Mulyani menyebut dengan menganut sistem pemerintahan desentralisasi atau otonomi daerah, pemerintah daerah bisa melakukan penarikan utang dengan catatan harus bisa mengelola utang.
"Daerah ini kan sudah menjalankan otonomi, seharusnya bisa mengelola utang," ucapnya.
Namun demikian, Sri Mulyani menyadari kebijakan ini bukan tanpa risiko. Sri Mulyani mengaku keputusan untuk memberikan wewenang daerah agar mendapatkan pembiayaan utang sempat ditentang saat pembahasannya bersama Komisi XI DPR.
Bukan tanpa alasan, pihak yang kontra terhadap kebijakan ini menilai bahwa banyak negara di dunia pernah mengalami masalah serius akibat memberikan otonomi keuangan seperti ini."Namun, kita juga tahu di dunia ini ada negara yang pernah alami kesulitan sangat serius karena pemda melakukan utang yang tidak terkontrol jadi ada daerah yang bangkrut. Akhirnya utangnya tersebut diambil alih oleh pemerintah pusat. Ini yang kita tidak inginkan," ucapnya.
Sri Mulyani juga mengungkapkan ada kota di sebuah negara yang bangkrut karena pemerintahnya tidak mampu mengelola utang dengan baik, sehingga pemerintah pusatnya harus mengambil alih dan menyelesaikan kekacauan tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah telah menyiapkan sejumlah instrumen dan mekanisme yang ketat. Berpegang dengan prinsip kehati-hatian, maka ada sejumlah aturannya.
Mulai dari penarikan utang harus mendapatkan persetujuan DPRD dalam pembahasan RAPBD. Penarikan utang boleh dalam tempo waktu melebihi masa jabatan kepala daerah namun harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat yakni, menteri keuangan, menteri dalam negeri dan kepala Bappenas.
Penarikan utang dari pusat dan penerbitan obligasi dan sukuk hanya bisa dilakukan setelah mendapat restu dari menteri keuangan dan pertimbangan dari menteri dalam negeri. Kewajiban penganggaran pembayaran kembali dalam APBD dan adanya sanksi administrasi. Pengendalian defisit dan pembiayaan utang dilakukan oleh menteri keuangan dan melarang pemerintah daerah menarik utang langsung dari luar negeri.
Menurutnya kewenangan yang diberikan diharapkan bisa dimanfaatkan pemerintah daerah dalam membangun wilayahnya. Pemerintah daerah bisa membuat instrumen kebijakan fiskal sendiri dan harus bisa menghadapi konsekuensi akan terjadi.
"Pemerintah memberikan kewenangan kalau niatnya bagus ini jadi baik, kalau di tangan yang tidak bagus ini akan jadi malapetaka," ucapnya.
Terpenting kata Sri Mulyani, pemerintah daerah harus bisa memiliki semangat yang kuat dalam mengelola keuangan daerah digunakan pembangunannya. Sebab hal tersebut akan menjadi cermin cara daerah mengelola utang pembangunan.
Adapun beberapa manfaat yang bisa dinikmati pemerintah antara lain skema pembiayaan diperluas dengan menggunakan konsep syariah seperti sukuk daerah. Hal ini berdasarkan aspirasi sebagian daerah yang menginginkan adanya skema pembiayaan syariah karena secara kultural dan politis lebih bisa diterima.
Selain itu, reklasifikasi jenis pinjaman dari berdasarkan jangka panjang waktu menjadi berdasarkan bentuk pinjaman, sehingga bisa mencegah kesimpangsiuran istilah yang akan membingungkan daerah sebagai institusi pelaksana peraturan daerah. Agar sebagai institusi pelaksana peraturan bisa selaras dengan praktik APBN.
UU HKPD memberikan kewenangan bagi daerah untuk memiliki pembiayaan utang melalui Pasal 154 hingga Pasal 163. Namun, pembiayaan utang yang dimaksud hanya berlaku bagi pinjaman dalam negeri."Pemerintah daerah dilarang melakukan pembiayaan langsung dari pihak luar negeri," tulis Pasal 154 Ayat 4 aturan tersebut.
Pembiayaan utang melalui pinjaman daerah dapat digunakan untuk keperluan pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah, pengelolaan portofolio utang daerah, dan penerusan penyertaan modal kepada BUMD. Sementara itu, obligasi dan sukuk daerah juga dapat digunakan keperluan serupa, namun keduanya hanya boleh diterbitkan dalam denominasi rupiah saja.