Mengintegrasikan Jurnalisme dalam Penulisan Biografi

Rep: My40/ Red: Fernan Rahadi

Prof Ana Nadya Abrar dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fisipol UGM di Balai Senat UGM, Kamis (10/3/2022).
Prof Ana Nadya Abrar dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fisipol UGM di Balai Senat UGM, Kamis (10/3/2022). | Foto: Salsabilla Amiyard

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sejak reformasi bergulir, beberapa tokoh politik seolah-olah berlomba-lomba menerbitkan biografi. Melalui biografi tersebut, pembaca jadi mengerti perjalanan hidup tokoh yang dikisahkan beserta informasi rahasia yang tidak pernah diperoleh melalui media pers. 

Dengan menciptakan narasi dan kisah biografi menggunakan bahasa jurnalistik, wartawan memiliki kesempatan yang luas untuk menghasilkan biografi yang mengutamakan nilai kemanusiaan.

Hal inilah yang mendorong Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Prof Dr Ana Nadhya Abrar, MES, untuk membawakan pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dengan judul "Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi".

"Melalui pidato ini saya ingin memperluas pembahasan penulisan biografi dengan melihat bagaimana mengintegrasikan jurnalisme dalam penulisan biografi. Integrasi ini sangat penting karena bisa mengubah penampilan biografi," kata Abrar dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fisipol UGM di Balai Senat UGM, Kamis (10/3/2022).

Lebih lanjut, Abrar menjelaskan terkait hal-hal yang dapat menjadi pegangan biograf dalam menulis biografi. Menurutnya, salah satu pegangan itu datang dari Ibnu Khaldun dalam buku Mukadimah. 

Ibnu Khladun menyatakan bahwa jika dilihat dari segi lahiriah, sejarah tidak lebih dari peristiwa-peristiwa masa lalu. Mungkin dalam hal ini Ibnu Khaldun terlalu menyederhanakan sejarah. Namun yang ingin diingatkan oleh Ibnu Khaldun di sini adalah penulisan biografi bisa dilakukan dengan teknik jurnalisme. 

"Bukankah pengertian jurnalisme yang sederhana adalah keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan, dan penyiaran berita? Kalau kenyataan ini bisa diterima tentu kita perlu menarik garis batas jurnalisme dalam penulisan biografi," kata Abrar.

Adapun batas atas jurnalisme dalam penulisan biografi yaitu meningkatkan intelektualitas khalayak. Menurut Abrar, menulis biografi menjadi pekerjaan terkini. Banyak orang yang getol memproklamasikan dirinya sebagai biograf. 

Hasil penelitian Safari Daud terhadap 30 biograf di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar biograf adalah wartawan. Hal ini menunjukkan bahwa biograf tidak menjadi hak mutlak sejarawan. 

Semua profesi terbuka menjadi biograf, namun wartawan menempati posisi pertama sebagai biograf. Data ini pun didukung dengan adanya dua biograf terkenal di Indonesia yang pernah menjadi wartawan, yakni Ramadhan KH dan Alberthiene Endah. 

Umumnya, wartawan menjadikan bahasa sebagai alat interaksi antara dirinya dan khalayak. Namun, wartawan dalam menulis biografi menggunakan teknis jurnalisme berkaitan dengan keterampilan menggunakan bahasa jurnalistik. Akan tetapi, bahasa jurnalistik sekalipun tetap memiliki ciri khas menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baku dan benar. 

"Lewat kemampuan itu seorang biograf harus menunjukkan keterampilannya menulis. Jika tidak terampil menulis, biografi yang mereka tulis tidak akan memperoleh sambutan yang hangat dari khalayak," kata Abrar. 

Penulis: Salsabilla Amiyard (my40)

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Terkait


Ketua DGB UGM: Pengajuan Gelar Profesor tak Sulit

Guru Besar UGM: Kendalikan Penjualan Antibiotik!

Guru Besar UGM Kecewa Putusan MK terhadap Pengujian UU KPK

Guru Besar UGM: Mudik Bisa Mundurkan Prediksi Akhir Covid-19

Istri Almarhum Guru Besar UGM Negatif Covid-19

Republika Digital Ecosystem

Kontak Info

Republika Perwakilan DIY, Jawa Tengah & Jawa Timur. Jalan Perahu nomor 4 Kotabaru, Yogyakarta

Phone: +6274566028 (redaksi), +6274544972 (iklan & sirkulasi) , +6274541582 (fax),+628133426333 (layanan pelanggan)

[email protected]

Ikuti

× Image
Light Dark