REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Hamas dan gerakan Jihad Islam Palestina (PIJ) mengutuk kunjungan Presiden Israel Isaac Herzog ke Turki untuk bertemu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Dalam pernyataan pers yang dikirim ke The New Arab, Hamas mengatakan sangat prihatin dengan kunjungan pejabat dan pemimpin Israel ke beberapa negara Arab dan Islam.
Hamas mengungkapkan penyesalan atas kunjungan Israel ke negara-negara Arab dan Islam yang merupakan mitra strategis bagi rakyat Palestina untuk tujuan nasional mereka yang adil. Gerakan Islamis ini mengatakan Israel seharusnya tidak diizinkan untuk menembus negara-negara Islam dan Arab di kawasan itu dan merusak kepentingan rakyat mereka.
“Hamas menolak semua bentuk komunikasi dengan Israel, yang melakukan Yahudisasi Yerusalem dan Masjid Al-Aqsha, melakukan pengepungan di Gaza, menangkap ribuan tahanan, membunuh anak-anak, menghancurkan rumah, dan menggusur orang-orang Palestina,” kata kelompok yang berbasis di Gaza itu dilansir dari The New Arab, Jumat (11/3/2022).
Hamas mempertahankan hubungan yang kuat dengan Turki. Ibu kota Turki, Ankara, sering menerima kunjungan dari para pemimpin Hamas. Turki juga mengizinkan para pemimpin Hamas untuk bergerak bebas di wilayahnya setelah mereka meninggalkan Suriah pada 2012.
Sementara itu, PIJ mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kunjungan Herzog ke Turki mengikuti eskalasi Israel terhadap Yerusalem, rencana untuk Yahudisasi tempat-tempat suci, dan serangan pemukim ke Masjid Al-Aqsa.
“Kunjungan itu berarti berpihak pada Israel melawan perjuangan rakyat Palestina. Berusaha memulihkan hubungan dengan Israel dengan dalih kepentingan negara ini atau itu adalah pengkhianatan terhadap Yerusalem dan Palestina," kata kelompok itu.
Hubungan antara Israel dan Turki mulai memburuk pada 2009 setelah Erdogan, yang saat itu menjadi perdana menteri Turki, secara terbuka mengkritik kebijakan Israel terhadap Palestina. Pada tahun 2010 Israel menyerbu sekelompok kapal armada sipil yang dimaksudkan untuk mencapai Gaza, menyebabkan kematian beberapa aktivis Turki di kapal dan memicu krisis diplomatik antara Ankara dan Tel Aviv. Sejak itu, kedua negara telah terlibat dalam beberapa upaya untuk mengejar rekonsiliasi penuh.