Ahad 13 Mar 2022 05:03 WIB

LPSK: Jalan Pulang Korban Kerangkeng Bupati Langkat Hanya Menyuap, Kabur, atau Mati

LPSK menyatakan tak ada jalan pulang bagi mereka yang menjadi penghuni kerangkeng.

Rep: Rizky Suryarandika, Rizkyan Adiyudha/ Red: Andri Saubani
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Foto: ANTARA FOTO/Oman/Lmo/rwa.
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banyak cerita kelam yang diperoleh tim Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) saat melakukan kegiatan koordinasi, investigasi dan penelahaan sejak 27 Januari – 5 Maret 2022 pada kasus ditemukannya kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin (TRP). Mereka yang sudah masuk ke dalam kerangkeng tak akan bisa keluar kecuali menyuap, melarikan diri atau meninggal dunia. 

Dari beragam cerita memilukan itu, tim LPSK menemukan benang merah bahwa tak ada jalan pulang bagi mereka yang menjadi penghuni kerangkeng. Belum lagi ketakutan para korban terhadap sosok TRP.

Baca Juga

“Kalau ada TRP, jangankan makan dan minum, buang air pun para korban tidak berani,” kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangan pers, Sabtu (11/3/2022). 

Kemudian Edwin bercerita, jika ada di antara para korban atau penghuni kerangkeng terlihat minum es, mereka akan langsung kena sasaran kemarahan TRP. Ia menyebut TRP bahkan pernah mengancam para korban untuk ditembak ketika sedang istirahat. 

“Sebegitu takutnya para korban terhadap sosok TRP ini,” ujar Edwin.

Berangkat dari temuan-temuan itu, menurut Edwin, tim LPSK menduga keras telah terjadi praktik perbudakan dengan iming-iming rehabilitasi bagi pecandu narkotika dalam kasus kerangkeng manusia di Langkat ini. 

"Pola penguasaan total benar-benar memutus penghuni kerangkeng dari keluarganya, bahkan ada dua orang tua dari korban yang meninggal dunia, mereka tidak diperkenankan untuk melayat,” ungkap Edwin.

Edwin mengatakan, pelaku sepenuhnya memanfaatkan situasi akut pecandu narkotika untuk memperoleh tenaga kerja gratis demi kepentingan bisnisnya. TRP disinyalir telah mendapatkan keuntungan besar dari model perbudakan modern ini.  

"Mengacu pernyataan Kapolda Sumut bila setidaknya ada 600 korban dalam 10 tahun terakhir yang dipekerjakan oleh TRP di bisnisnya tanpa digaji, maka TRP diuntungkan dengan tidak membayar penghasilan mereka sebesar Rp 177.552.000.000,” beber Edwin.

Edwin menambahkan, konsekuensi bagi korban setelah masuk kerangkeng ini adalah nyaris tidak ada jalan untuk pulang. Sekalipun ketika masuk terdapat surat pernyataan yang ditandatangani pihak keluarga dan pihak penanggung jawab kerangkeng yang juga mengatur batas waktu dalam kerangkeng. Namun dalam praktiknya untuk keluar kerangkeng hanya dimungkinkan jika menyuap kalapas, melarikan diri atau mati. 

"Mereka yang kabur pun memiliki konsekuensi. Ada tim pemburu yang akan mencari dan menjemput paksa yang kabur. Tim pemburu terdiri dari anak buah TRP dan anak buah Dewa (anak TRP) serta oknum aparat. Dalam praktiknya, tim pemburu juga mengancam keluarga dari korban yang kabur untuk menggantikan posisi dalam kerangkeng," ucap Edwin. 

Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-angin sebelumnya pernah membantah sel atau kurungan di rumahnya merupakan sebuah kerangkeng yang dimanfaatkan untuk rehabilitasi. Menurutnya, sel tersebut merupakan sebuah fasilitas pembinaan organisasi kepemudaan tertentu.

"Itu bukan (tempat) rehabilitasi tapi itu pembinaan untuk orgasnisasi tersendiri bagi saya sebagai tokoh Pemuda Pancasila," kata Terbit Rencana Perangin-angin di Gedung Merah Putih KPK, Senin (7/2/2022).

Meski demikian, Terbit tidak bisa menjawab secara lugas terkait dugaan tindak kekerasan hingga menelan korban jiwa yang terjadi dalam kerangkeng tersebut. Namun, Bupati Terbit membantah bahwa telah terjadi penyiksaan dalam kerangkeng dimaksud.

"Itu (penyiksaan hingga meninggal) kita lihat nanti atau bagaimana karena itu bukan pengelolaan kami langsung," kata Terbit lagi.

 

Terbit juga tidak membantah jika para penghuni kerangkeng tersebut memang dipekerjakan di kebun sawit miliknya. Namun, menurutnya, hal itu dilakukan guna memberikan kemampuan tambahan bagi masyarakat yang setuju untuk tinggal di dalam kerangkeng tersebut.

 

"Bukan dipekerjakan, hanya untuk menambah skill keterampilan sehingga mereka bisa memanfaatkan di luar ketika lepas dari pembianaan," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement