REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melakukan kajian terhadap dampak ekonomi yang ditimbulkan dari krisis minyak goreng. Dari riset tersebut, IDEAS memperkirakan kerugian ekonomi masyarakat akibat kenaikan harga mencapai Rp 3,38 triliun.
"IDEAS memperkirakan kerugian ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat akibat krisis lonjakan harga minyak goreng mencapai Rp 3,38 triliun," ujar Direktur IDEAS Yusuf Wibisono dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (13/3).
Dia menjelaskan, estimasi kerugian masyarakat ini diperoleh dengan menjadikan harga rata-rata minyak goreng periode Januari-Maret 2021 sebagai baseline-nya, di mana harga minyak goreng masih normal. Kerugian itu pun terakumulasi dari dua periode kenaikan, yaitu April-September 2021 sebesar Rp 0,98 triliun dan Oktober 2021-19 Januari 2022 sebanyak Rp 2,4 triliun.
"Estimasi kerugian ini masih konservatif, karena belum memperhitungkan periode pasca 19 Januari 2022. Meski pasca 19 Januari 2022 harga minyak goreng secara resmi turun, namun pasokan minyak goreng murah ini sangat terbatas bahkan tidak tersedia di banyak tempat," kata Yusuf.
Pada 19 Januari 2022, pemerintah membanderol minyak goreng kemasan seharga Rp 14.000 per liter. Menurut Yusuf, jika selama periode kelangkaan minyak goreng pasca 19 Januari masyarakat terpaksa membeli pada harga yang lebih tinggi, maka kerugian masyarakat akan jauh lebih besar lagi.
"Kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng ini sangat ironis karena Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Pada 2020, luas perkebunan kelapa sawit telah menembus 14,5 juta hektar dengan produksi minyak sawit mentah (CPO/crude palm oil) di kisaran 45 juta ton," ungkap Yusuf.
Dia melanjutkan, pada 2021, konsumsi minyak goreng nasional diperkirakan berada di kisaran 3,3 miliar liter. Pengeluaran per tahun masyarakat untuk membeli minyak goreng mencapai Rp 43 triliun, dengan harga beli rata-rata sekitar Rp 13 ribu per liter.
Dengan jumlahnya yang signifikan, kelas menengah mendominasi konsumsi minyak goreng nasional. Kelas pengeluaran/kapita/bulan Rp 1-3 juta, yang merupakan 40,7 persen dari populasi, menyumbang hingga 46,4 persen konsumsi minyak goreng nasional.
Konsumen terbesar berikutnya adalah kelas pengeluaran Rp 400 ribu-1 juta, yang merupakan 46,9 persen dari populasi, menyumbang 42,2 persen konsumsi minyak goreng nasional.
"Berangkat dari data tersebut maka tidak mengherankan bila kemudian kerugian ekonomi terbesar akibat lonjakan harga minyak goreng akhir-akhir ini akan ditanggung oleh kelas menengah," kata dia.
Konsumen rumah tangga minyak goreng di kelas pengeluaran/kapita/bulan Rp 1-3 juta dengan konsumsi per hari 4,23 juta liter, menanggung kerugian ekonomi Rp 1,57 triliun. Kerugian terbesar berikutnya dialami konsumen di kelas pengeluaran Rp 400 ribu-Rp 1 juta dengan konsumsi minyak goreng per hari 3,85 juta liter, menanggung kerugian ekonomi Rp 1.43 triliun.
Berdasarkan wilayah, kerugian ekonomi terbesar dari krisis minyak goreng dialami konsumen rumah tangga di Jawa, dengan konsumsi 5,1 juta liter per hari, menanggung kerugian Rp 1,99 triliun. Setelah Jawa, kerugian terbesar kedua dialami konsumen rumah tangga di Sumatera dengan konsumsi 2,5 juta liter per hari, menanggung kerugian Rp 0,85 triliun.
Konsumen di wilayah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, Bali Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, jika ditotal dengan konsumsi 1,7 juta liter per hari, menanggung kerugian Rp 0,54 triliun. Yusuf mengatakan, krisis minyak goreng ini harus diakhiri secepatnya, apalagi Ramadhan telah di depan mata.