REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga saham barang konsumen primer masih tertekan meski perekonomian telah menunjukkan tren pemulihan. Kondisi tersebut tercermin dari kinerja saham beberapa emiten seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) hingga PT Mayora Indah Tbk (MYOR).
Pergerakan sejumlah saham tersebut cenderung menurun dalam lima tahun terakhir. Selama periode tersebut, UNVR tercatat telah jatuh sebesar 61,6 persen dan INDF terpangkas 29,12 persen. Hanya MYOR yang masih membukukan pertumbuhan sebesar 5,26 persen. Namun dalam tiga tahun terakhir, saham MYOR melemah 38,9 persen.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Martha Christina mengatakan harga saham barang konsumen primer sampai saat ini masih melemah karena tertekan sentimen kenaikan harga bahan baku. Kondisi ini membuat margin emiten tergerus.
"Kenaikan harga CPO sejak tahun lalu semakin menekan margin UNVR," kata Martha, Kamis (10/3).
Tren kenaikan harga CPO diperkirakan masih akan berlanjut terutama setelah diumumkannya kenaikan kewajiban untuk memasok kebutuhan dalam negeri (DMO) menjadi 30 persen. Dengan harga CPO yang belum akan kembali normal, margin emiten diperkirakan semakin menipis sehingga saham barang konsumen primer masih berpotensi tertekan.
Menurut Martha, hal ini diperparah dengan kondisi data beli masyarakat. "Belum lagi ada pelemahan daya beli masyarakat, ini akan semakin menekan saham barang konsumen primer," kata Martha.
Selain itu, adanya konflik Rusia dan Ukraina membuat harga gandum melonjak ke level tertingginya. Mayoritas perusahaan barang konsumen terutama yang bergerak dibidang makanan dan minuman akan sangat terdampak karena penggunaan gandung dan tepung terigu sebagai bahan utama.
Meski diperkirakan akan ada kenaikan permintaan pada saat momentum Ramadhan, menurut Martha, perusahaan barang konsumen akan tetap tertekan karena tinggunya biaya. Kondisi ini juga akan menekan kinerja margin perusahaan.
Head of Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Roger MM, menambahkan saham barang konsumen masih terjun bebas hingga saat ini karena disebabkan anjloknya kinerja emiten sejak 2018. Sebagai contoh, laba bersih UNVR pada 2018 tercatat sebesar Rp 9 triliun.
Lalu pada 2019 laba UNVR kembali turun menjadi Rp 7,4 triliun dan berlanjut hingga 2020 yang turun menjadi Rp 7,1 triliun dan terakhir pada 2021 turun menjadi Rp 5,7 triliun. "Jadi empat tahun terakhir ini kinerja UNVR memang mengalami penurunan," kata Roger.
Menurut Roger, alasan lainnya UNVR tidak banyak menarik minat manajer investasi karena pemberlakuan kebijakan free float. Roger mengatakan kebijakan ini berdampak terhadap penurunan pembobotan. Oleh sebab itu, tren saham UNVR masih cenderung turun dalam setahun terakhir.