REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum MUI KH Anwar Abbas mengatakan, sebelum ada Badan Penyelenggara Jaminan Prodak Halal (BPJPH), sertifikasi halal dan logo diatur MUI. Kini, setelah keluar UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal maka pengaturan tersebut telah berpindah dari MUI kepada BPJPH.
"Tetapi, meskipun demikian, fatwa menyangkut masalah kehalalan produk menurut UU yang ada memang masih menjadi tanggung jawab MUI," kata KH Anwar Abbas kepada Republika, Ahad (13/3/2022).
Jadi, kata dia, berdasarkan fatwa dari MUI tersebutlah BPJPH mengeluarkan sertifikat halal terhadap produk-produk tersebut. Dan untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat luas bahwa sebuah produk tersebut telah halal maka diperlukan dan dipasangkanlah logo di produk tersebut.
"Dan untuk membuat logo yang akan dipasangkan tersebut, kalau dahulu itu menjadi hak dan wewenang MUI, tapi setelah keluarnya UU JPH maka tentu hal demikian menjadi hak dan wewenang dari kemenag atau BPJPH," katanya.
KH Anwar Abbas menyampaikan kekecewaannya dengan logo Halal baru buatan Kementerian Agama (Kemenag) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk halal (BPJPH). Penyesalan itu disampaikan, karena logo tersebut tidak mencerminkan kebersamaan antara Kementerian Agama BPJPH dan MUI.
"Sayang dalam logo yang baru kata MUI sudah hilang sama sekali," katanya.
Padahal, kata dia, dalam pembicaraan di tahap awal diketahui ada tiga unsur yang ingin diperlihatkan dalam logo tersebut, yaitu tulisan BPJPH, MUI, dan Halal. Tulisan MUI dan Halal didesain dalam bahasa Arab.
"Tetapi setelah logo tersebut jadi, kata BPJPH dan MUI hilang dan yang tinggal hanya kata halal yang ditulis dalam bahasa Arab yang dibuat dalam bentuk kaligrafi," katanya.
Menurutnya, logo halal yang baru ini banyak orang tidak mengetahui itu adalah tulisan halal dalam bahasa Arab. Ia menilai ini karena terlalu mengedepankan kepentingan artistik yang diwarnai keinginan mengangkat masalah budaya bangsa.
"Tetapi banyak orang mengatakan kepada saya setelah melihat logo tersebut yang tampak oleh mereka bukan kata halal dalam tulisan Arab, tapi adalah gambar gunungan yang ada dalam dunia pewayangan," katanya.
Jadi kata dia, logo ini tampaknya tidak bisa menampilkan apa yang dimaksud dengan kearifan nasional, tetapi malah kearifan lokal. Karena yang namanya budaya bangsa itu bukan hanya budaya jawa sehingga kehadiran dari logo tersebut menurutnya tidak arif.
"Saya menjadi terkesan tidak arif karena disitu tidak tercerminkan apa yang dimaksud dengan keindonesiaan yang kita junjung tinggi tersebut," katanya.