Senin 14 Mar 2022 14:51 WIB

Pemerintah Perlu Naikkan Bea Keluar di Tengah Tren Lonjakan Harga Global

Kebijakan DMO sebagai respons kenaikan harga komoditas global dinilai tak efektif.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Aktivitas ekspor impor (ilustrasi). Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih fokus pada peningkatan benefit dari komoditas yang menjadi andalan ekspornya dengan menambah nilai bea keluar. Pendapatan ini bisa digunakan untuk mengurangi dampak inflasi.
Foto: bea cukai
Aktivitas ekspor impor (ilustrasi). Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih fokus pada peningkatan benefit dari komoditas yang menjadi andalan ekspornya dengan menambah nilai bea keluar. Pendapatan ini bisa digunakan untuk mengurangi dampak inflasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih fokus pada peningkatan benefit dari komoditas yang menjadi andalan ekspornya dengan menambah nilai bea keluar. Pendapatan ini bisa digunakan untuk mengurangi dampak inflasi.

“Pemerintah sendiri harus berusaha mendapatkan benefit lebih dari naiknya harga-harga komoditas yang banyak diekspor. Belakangan ini memang tax ratio Indonesia sedang bermasalah, dan kapasitas negara untuk memajaki komoditas tidak setinggi jalan oil boom dulu,” Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta, Senin (14/3/2022).

Baca Juga

Ia menambahkan, kebijakan berupa domestic market obligation (DMO) ataupun larangan ekspor sebagai respons kenaikan harga komoditas dunia demi memastikan pasokan untuk dalam negeri diragukan efektivitasnya. Sebab, kebijakan seperti ini berpotensi mendistorsi perdagangan dan mengundang retaliasi dari partner dagang.

"Menambah bea keluar, meskipun tidak ideal, bisa jadi solusi yang lebih kecil distorsinya daripada DMO ataupun export ban. Hasil pengenaan bea keluar tersebut dapat digunakan untuk mensubsidi masyarakat secara langsung," kata Krisna.

Selain itu, Indonesia perlu lebih aktif dalam kerjasama global karena kerjasama global saat ini lebih dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Dengan terputusnya Rusia dan Ukraina dari pasar global, maka jumlah negara yang bisa berkoordinasi akan semakin sedikit dan hal ini akan mengurangi lalu lintas perdagangan dan komoditas.

Posisi Indonesia saat ini cukup unik karena sebagai negara anggota RCEP yang merupakan perjanjian dagang terbesar di dunia sekaligus tengah menjadi Presidensi G20. Krisna mengatakan, Indonesia mesti memanfaatkan kesempatan ini untuk bekerja sama di berbagai isu.

“Tentunya prioritas nomor satu saat ini adalah bagaimana membatasi dampak invasi Rusia ke Ukraina terhadap Ukraina, Uni Eropa, dan dunia secara keseluruhan,” ujarnya.

Tapi tidak hanya itu, saat ini kerjasama global juga sangat diperlukan untuk mengevaluasi distorsi current account balance atau neraca perdagangan berbagai negara, meningkatkan produksi dan distribusi vaksin dan perlengkapan perang melawan pandemi, serta mempercepat usaha mengatasi krisis iklim global.

Di sisi lain, Indonesia sebenarnya diuntungkan dari naiknya harga-harga komoditas energi dan mineral karena batu bara, minyak nabati dan nikel adalah barang-barang ekspor Indonesia secara tradisional.

Tentu saja dampak program larangan ekspor nikel dan larangan ekspor produk lainnya di masa datang menjadi mahal harganya karena opportunity cost yang tinggi, kecuali terjadi penyesuaian harga domestik.

Di samping itu, naiknya harga-harga komoditas ini akan meningkatkan insentif bagi perusahaan di bidang ekspor komoditas untuk menjual barangnya ke luar negeri. Namun di saat yang bersamaan, Indonesia juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi semakin panjangnya krisis minyak goreng dan kebutuhan pokok lainnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement