REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya, Masdar Hilmy menekankan pentingnya kemandirian pondok pesantren (Ponpes). Isu kemandirian yang dimaksud, kata dia, cakupannya sangat luas. Bukan hanya terkait ekonomi pesntren, tapi juga termasuk politik, sosial, dan budaya.
"Terutama dalam konteks menjelang tahun politik, menjelang perhelatan demokrasi," ujarnya di Surabaya belum lama ini.
Masdar menyatakan, tahun politik menjadi tahun yang sangat rawan bagi dunia pesantren. Karena di tahun tersebut, pondok pesantren bisa dimanfaatkan pihak tertentu yang hanya ingin mengais keuntungan jangka pende. Mereka bisa memanfaatkan pesantren dan para kiyai dalam rangka kepentingan politik.
"Itu namanya menguji otonomi atau independensi politik pesantren. Jangan sampai pesantren masuk arus kepentingan politik tertentu, kemudian terseret terlalu jauh," ujarnya.
Masdar berpendapat, lahirnya Undang-Undang nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren juga menjadi suatu ujian bagi dunia pesantren untuk bisa menempatkan dirinya secara proporsional. Penempatan diri secara proporsianal yang dimaksud dalam rangka menjaga hubungan yang elegan dan mutualistik antara negara dengan pondok pesantren.
Dalam materi Undang-Undang tersebut, lanjut Masdar, memang ada beberapa hal yang diatur seperti kelembagaan, dan hal-hal yang terkait dengan eksistensi pesantren itu sendiri. Padahal, pesantren merupakan suatu institusi yang sejak dulu eksis, dan tidak pernah diotonomi atau diatur sedemikian rupa oleh negara.
Pesantren diakuinya memang memerlukan dukungan negara. Dimana pesantren butuh ditopang infrastruktur, dan salah satu pihak yang bisa menopang adalah negara. "Tetapi peantren juga punya histori, punya legacy, punya sejarah masa lalu, punya kemandirian tersendiri yang tidak boleh atau tabu bagi negara melakukan intervensi," ujarnya.