Ajarkan 'Unggah-Ungguh' Demi Generasi Tangguh
Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Kegiatan belajar menari tradisional bagi anak-anak di Sanggar Budaya Condrowinoto, Dusun Dampu, Desa Kalongan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Ahad (13/3). Selain beragam kesenian tradisional Jawa, di sanggar budaya ini juga mengajarkan unggah- ungguh, tatakrama dan budi pekerti khas masyarakat Jawa. | Foto: Republika/Bowo Pribadi
REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Penetrasi teknologi informasi dan digitalisasi yang semakin deras, terus menghadirkan beragam konsekuensi. Salah satunya, pengaruh budaya mancanegara di kalangan generasi penerus bangsa pun semakin niscaya.
Contoh kasus, sekarang ini banyak generasi Z yang terlahir dengan status suku Jawa, namun mereka sama sekali tidak memahami bahkan enggan melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa.
Inilah yang memotivasi RNGt Eropeana Puspitasari mengajarkan kepada anak-anak di lingkungan Dusun Dampu, Kelurahan Kalongan, Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, untuk merawat dan menjaga budaya Jawa.
Melalui Sanggar Budaya Condrowinoto yang dirintis sejak 2018, perempuan yang akrab di sapa Ana ini mengajarkan kembali bagaimana generasi penerus masyarakat Jawa tidak ‘kehilangan’ jatidiri dan budayanya.
Ada kelas unggah ungguh (tata krama) masyarakat Jawa, pengenalan berbagai kesenian Jawa seperti seni tari pakem Mataraman, karawitan, dan juga seni wayang mendalang. Semuanya dilakukan tanpa memungut biaya atau cuma-cuma.
“Semangat saya, bagaimana agar anak-anak generasi penerus ini tidak kepaten obor atau kehilangan jatidirinya sebagai penerus budaya Jawa,” jelasnya, saat ditemui di Sanggar Budaya Condrowinoto, Ahad (13/3/2022).
Dengan begitu, lanjutnya, mereka akan menjadi generasi yang tangguh dalam merawat dan melestarikan kebudayaan masyarakat Jawa, di tengah pengaruh budaya dari luar yang semakin kuat oleh dinamika perkembangan zaman.
Ana juga menceritakan, tidak mudah untuk mengawali semua ini mengingat anak-anak yang ada di sekitar Sanggar Budaya Condrowinoto juga telah terpapar modernisasi.
Ia pun mulai mengenalkan pelan-pelan kepada anak-anak terdekat mulai dari berbagai dolanan anak tradisional. “Pada tahun pertama berdirinya sanggar, paling baru ada lima orang anak yang tertarik berkegiatan di sanggar,” jelasnya.
Berikutnya, ia mulai mengenalkan kesenian tari tradisional dan seni wayang. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak anak yang tertarik untuk bergabung dalam kegiatan sanggar.
Hingga saat ini total ada 50 anak mulai jenjang TK hingga mahasiswa telah bergabung. Mereka berasal dari Desa Kalongan serta desa lain di sekitarnya.
Guna melengkapi pendidikan akhlak mereka yang telah diperoleh dari sekolah, TPQ maupun diniyah, sanggar budaya ini juga membekali mereka dengan kelas unggah-ungguh, edukasi tata krama, serta budi pekerti khas budaya Jawa.
“Tujuannya agar mereka mengenal dan mencintai budaya Jawa hingga akhirnya memiliki sikap serta karakter generasi yang tangguh dalam menjaga budaya asli mereka, di tengah kemajuan zaman,” tandas Ana.
Salah seorang warga Dampu, Wahyu Puji Mulyani (38) mengatakan, tertarik dengan kegiatan Sanggar Budaya Condrowinoto ini hingga ia pun mengizinkan putrinya untuk ikut berkegiatan.
Menurutnya, saat ini sudah jarang sekali ditemukan sanggar yang mengajarkan bagaimana kebudayaan Jawa dan bagaimana menerapkan tata krama di lingkungan keluarga maupun di lingkungan orang lain.
“Selain bisa belajar menari tradisional Jawa sekaligus karawitan, anak-anak juga diajarkan unggah-ungguh-nya, hormat kepada orang tua,” jelasnya.
Terlebih dengan manfaat tersebut juga tidak dipungut biaya, sehingga para orang tua tentu sangat terbantu dengan keberadaan sanggar budaya ini. “Warga sangat mengapresiasi keberadaan Sanggar Budaya Condrowinoto,” ujar dia.
Sementara itu, Eka Satya (15) salah satu peserta kelas tari tradisional mengamini, tidak hanya anak-anak saja yang senang berkegiatan di sanggar ini. “Orang tua saya pun juga senang dan mendukung,” katanya.
Ia juga mengungkapkan, setelah berkegiatan di sanggar budaya ini memiliki keterampilan menari tradisional yang sebelumnya asing baginya. “Sebagai bentuk apresiasi, kami juga sering dipentaskan pada kegiatan-kegiatan tertentu untuk menambah pengalaman,” jelasnya.